Halaman

Senin, 07 Oktober 2013

Waspadai Peperangan Jenis Baru

Asymmetric Warfare 

Berikut akan digambarkan sepintas terkait komparasi budget seperti disinggung pada awal tulisan ini. Pertanyaannya: apakah peperangan asymmetric lebih murah dari aspek biaya daripada symmetric warfare? Memang belum ada studi ataupun belum ditemui data perbandingan secara spesifik. Alasan pokok kenapa trend kolonial sekarang bergeser dari hard power ke smart power,salah satu urgensinya karena perang non militer dinilai lebih murah daripada hingar-bingar hard power yang belum tentu menjamin kemenangan, sebagaimana kegagalan militer AS dan sekutu sewaktu menginvasi Afghanistan dan Irak.

 

 

Selanjutnya arti murah disini bukan bermakna rendahnya cost, sedikit budget dalam menjalankan peperangan non militer, bukan itu maksudnya. Olah smart power yang cenderung non kekerasan ---manuver tanpa asap mesiu--- tampaknya favorit dalam model kolonialisasi di tengah gaduh demokrasi, HAM dan isu-isu lingkungan.

Hal yang perlu dicermati pada kancah peperangan asimetris ---sebenarnya perang simetris pun demikian--- adalah kuat dan berperannya (pemanfaatan) media massa serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam geliat konstalasi, terutama para LSM dan media (mainstream) yang berafiliasi kepada asing. Maksud afiliasi disini selain memiliki link up ke luar, khususnya kelompok LSM tertentu yang memperoleh gelontoran dana dari asing. Itu alasan utama. No free lunch. Entah sponsornya negara, LSM donor, person, lembaga internasional, dll maka kiprah LSM dimaksud niscaya tidak lagi netral dalam mengemban aspirasi (rakyat), sebaliknya mungkin akan sarat (pesanan) kepentingan dari pihak sponsor (Silahkan baca: Indonesia Diserbu!www.theglobal-review.com).

Ciri menonjol lain yang mutlak diwaspadai, bahwa LSM dan media di atas memiliki kecenderungan menghadapkan ---kalau tidak boleh disebut mengadu domba--- antara pemerintah versus rakyatnya melalui “kompor” media massa, sehingga  pesan yang disampaikan cenderung mengeksploitasi benih-benih ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan yang diterbitkan, ataupun kegagalan serta penyimpangan program-program pemerintah. Secara lebih detail, merujuk hasil diskusi terbatas GFI (19/9), pimpinan Hendrajit, pihak LSM sengaja menciptakan isu untuk djadikan agenda. Kemudian agenda berubah program dan ujungnya (proposal) proyek. Tapi ini mekanisme intern, tak dibahas dalam catatan ini.

Kembali ke topik smart power. Dalam tataran ISUE misalnya, tidak sedikit LSM yang didirikan, atau media online tertentu di-launching hanya untuk melayani kepentingan asing melalui menyebarkan isue guna membentuk opini publik. Atau seringkali isue dihembuskan oleh “sosok ciptaan”, kemudian sosok tersebut diherokan berbagai media seakan-akan (dicitrakan) berani melawan hegemoni Barat padahal justru ia sendiri bekerja untuk kepentingan Barat. Inilah false flag operation yang tidak disadari banyak elemen bangsa-bangsa di dunia (Baca juga:Edward Snowden dan Operasi Bendera Palsu, www.theglobal-review.com). 

Lain LSM bidang “isue”, lain pula LSM yag mengawaki TEMA. Bahkan dalam rangka mengusung sebuah “tema”, bukan sekedar memakai LSM saja, tetapi sering pula diawaki lembaga non pemerintah ---institusi ekstra-yudisial, komisi, dan lainnya--- yang proses pendiriannya atas inisiasi asing atau lembaga donor berkedok capacity building, pengawasan, dan seterusnya.

Sedangkan untuk operator SKEMA kolonial biasanya elit tertentu ataupun (komprador) pejabat yang sengaja ‘ditanam’ pada departemen atau kementerian-kementerian strategis. Kenapa demikian, oleh karena komprador inilah yang kelak menelorkan berbagai kebijakan pemerintah namun pro asing. Maka terdapat fenomena pada institusi dan lembaga tertentu yang dianggap strategis, khususnya institusi terkait food and energy security banyak dijadikan sarang serta “peternakan” bagi asing.

Selanjutnya akan digambarkan secara sederhana bekerjanya isu, tema dan skema dalam asymmetric warfare serta bagaimana ia diawaki. Kiranya anatomi ringkas tentang Arab Spring di bawah ini, mampu menjawab keremangan pemahaman tentang peperangan non konvensional selama ini.

Tak dapat dipungkiri. Tatkala ‘Musim Semi Arab’ menggoyang Jalur Sutera, ternyata “isue”-nya ditebar oleh Julian Assange lewat WikiLeak. Siapa tak kenal Assange? Kemudian “tema” gerakan adalah aksi massa non kekerasan diusung oleh Central Applied Non Violence Action and Strategies (CANVAS), anak organisasi National Endowment for Democracy (NED), LSM milik Pentagon. NED kerap dijuluki sebagai LSM spesial ganti rezim; sedang eksekusi “skema” diawaki Mohamad Morsi melalui kendaraan Ikhwanul Muslimin (Baca: Revolusi Warna, Virus Ganti Rezim di Berbagai Negara, dan baca juga: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir,www.theglobal-review).

Adakah link up antara Assange, NED dan Morsi? Belum ditemui data dan informasi pasti, hanya upaya-upaya mereka sepertinya “disatukan” oleh media mainstream. Inilah bukti keadaan (circumstance evidence) yang harus disimak. Tak bisa tidak. Bukti keadaan tersebut mirip upaya tiga faksi pemberontak di Syria ketika berusaha menggusur Bashar al Assad. Mereka terkesan terpecah belah, tetapi sesungguhnya saling bekerjasama pada penciptaan opini publik: “betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri”. Dengan kata lain, ada invesible hand meremot dinamika konflik Syria dari kejauhan agar para pemberontak tetap satu tujuan meskipun berbeda cara dan jalan (Baca lengkap: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesirwww.theglobal-review.com).

Pertanyaan lagi: apakah pelembagaan isu, tema dan skema tersebut tanpa biaya? Tentunya tidak. Dalam asymmetric warfare yang melanda Indonesia di bidang tembakau misalnya, kampanye (penyebaran isue) anti rokok yang dikeluarkan Bloomberg Initiative relatif besar. Ini sebagain kecil datanya:

(1) Dinas Kesehatan Kota Bogor: 228.224 dolar AS 2009-2010; (2) Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: 280.755 dolar AS 2008-2010; (3) Dirjen Pengendalian Penyakit Tidak Menular: 529.819 dolar AS 2008-2010; (4) Komnas Perlindungan Anak Indonesia: 455.911 dolar AS dan 210.974 dolar AS 2008-2010;  (5) Swisscontact Indonesia: 360.952 dolar AS 2009-2011; (6) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): 454.480 dolar AS 2008-2010; (7) Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA): 366 dolar AS 2010-2012, dan lain-lain.

Data soal pendanaan untuk pelembagaan isue-isue di atas, belum termasuk fatwa haram merokok yang konon juga tidak gratis. Sesuai dokumen GFI dalam pernyataan sikapnya (5/7/20120), ternyata Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menerima USD 45.470. Luar biasa! (Baca: Pernyataan Sikap Global Future Institute (GFI) tentang Upaya Asing Hancurkan Industri Rokok dan Petani Tembakau di Indonesia,www.theglobal-review.com).


Dari data-data ini dapat dibaca, bahwa salah satu serangan asimetris asing ---baru salah satu lho, banyak sektor lainnya--- terhadap perekonomian Indonesia melalui skenario penghancuran industri rokok dan petani tembakau sesungguhnya ‘satu komando’ dan sistematis karena melibatkan lintas elemen bangsa di internal negeri. Mereka tahu, atau pura-pura tidak tahu karena turut menikmati? Bukankah secara koridor, aktivitas ICW di luar ranah kampanye anti rokok? Ada alasan pembenar memang, bahwa gelontoran dana ke ICW dikemas dalam paket kampanye good governance terkait transparansi dan akuntabilitas pemerintah soal kebijakan tembakau (Baca: Heboh RPP Tembakau: Monster Kebohongan Versus Kepentingan Nasional RIwww.theglobal-review.com).

Analisa Karen Brooks mungkin dapat dijadikan rujukan akhir untuk menyudahi bahasan tentang asymmetric warfare ini. Ia mengisyaratkan, bahwa Arab Spring di Mesir sejatinya belajar dari aksi-aksi massa di Jakarta pada 1998-an yang berujung ambruknya rezim Orde Baru. (Baca: Karen Brooks, Indonesia's Lessons for Egypt, 17 Februsari 2011, http://www.cfr.org/indonesia/indonesias-lessons-egypt/p24156).


Agaknya telaahan Brooks, disamping informatif, inspiratif, mutlak masih perlu ditelusuri lebih tajam terkait perkembangan situasi dahulu, kini dan kedepan. Maknanya telah jelas kok. Jika Arab Spring yang dalam kajian ini dinilai sebagaiasymmetric warfare yang digelar Barat di Jalur Sutera, bukankah pola NED sewaktu mengoyak Mesir itu meniru pola arus reformasi di Jakarta? Maka tidak sulit jika berniat membuka tabir lengsernya Pak Harto dulu. Ya. Bahwa gelombang reformasi yang melanda Indonesia beberapa dekade yang lalu tersirat sebagai pagelaran peperangan non militer yang dilancarkan oleh Barat dengan difasilitasi oleh lakon lokal dan dibantu elemen-elemen internal di republik ini, berbahan isu Anti-Korupsi, Anti-Kolusi, Anti-Nepotisme (Anti-KKN) yang ketika itu marak terjadi (sekarang justru lebih marak lagi). Sadarkah kita?

Demikianlah gambaran sederhana tentang apa dan bagaimana asymmertic warfareitu berlangsung. Contoh dan permisalan mungkin ada yang tidak detail, kurang lengkap, kurang menggigit, atau mungkin kurang pas. Mohon dimaafkan. Dipersilahkan mencari dan menganalogkan sendiri pada aspek lainnya. Yang ingin penulis tekankan adalah, bahwa peperangan non militer bukanlah domain kaum miskin, atau semata-mata ‘milik’ negara kecil, kelompok marginal, dll guna melawan golongan yang dianggap lebih kuat daripadanya, sebagaimana ilustrasi di awal tulisan soal aktivitas OTK dan al Qaeda. Bukan! Tidak begitu. Akan tetapi seperti halnya peperangan konvensional yang menggunakan kekuatan militer, perang non militer juga sebuah “sistem” dalam peperangan, hanya sifat dan karakter tempurnya selainsoft tanpa bunyi peluru, non kekerasan, juga spektrum dan medan perangnya luas terbentang.

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

0 komentar:

Posting Komentar