Lelaki paruh baya itu tampak kebingungan mondar-mandir di sekitar rumahnya menjelang waktu Maghrib. Sesekali menggaruk kepalanya dan berhenti dengan gumaman yang tidak begitu jelas. “Sedang nyari apa, Pak?” Tanya Ana. “Ini, motor bapak kok nggak ada ya, sudah muter-muter sekitar rumah, nggak ketemu.” Lalu ia keliling lagi. Tak lama, beberapa tetangga bermunculan dan menanyakan hal serupa. “coba diinget-inget lagi, tadi terakhir berhenti di mana?” Seseorang coba mengembalikan memorinya. Si bapak malah ngeloyor pergi masih dalam kebingungan.
Ini bukan kali pertama. Ia sering sekali lupa dengan barang-barangnya; kacamata, kunci motor, sandal, dan seringnya hp. Sebagai tetangga depan rumah, Ana dan kakaknya sering dimintai tolong untuk memiscall hp-nya yang entah di mana, bahkan tak mengenal waktu larut malam atau dini hari. Kadang Ana berpikir, kenapa tidak minta tolong kepada isteri atau anaknya ya?
Di usianya yang belum genap setengah abad, lelaki itu sudah tampak pikun dengan wajah jauh lebih tua dibandingkan usianya. Hal ini terjadi sejak 7 tahun lalu, ketika ia kehilangan pekerjaan. Meski kedua anaknya telah berumahtangga dan boleh dibilang berkecukupan, namun sepertinya kurang banyak membantu perekonomian orang tuanya, terlebih masih ada si bungsu yang baru memasuki bangku kuliah.
Satu hal yang semakin membuatnya stress adalah sikap isterinya yang semakin dominan sejak ia menganggur. Isterinya akhirnya mengereditkan pakaian meski hanya untuk waktu-waktu menjelang lebaran saja. Tanpa segan dan malu, isterinya menceritakan kondisi suaminya kepada tetangga dan kadang menjatuhkan harga diri suaminya dengan mencemooh atau merendahkannya di muka umum.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Dulu, saat suaminya bekerja, boleh dibilang kehidupan mereka termasuk mapan dan berlebih. Sang isteri terbiasa hidup nyaman dan cukup glamour. Hal ini, masih sulit ditinggalkan sepenuhnya meski kondisi ekonominya kini terpuruk. Terlebih, usaha tambak ikan yang coba dirintis suaminya gagal total sebelum menuai hasil.
Penyakit begitu mudah menghampiri si bapak dan seringnya ia simpan sendiri. Sering ia terlihat di terasnya tengah memijit atau memukul-mukul sendiri bagian tubuhnya yang dirasa sakit. Ia terlihat banyak melamun, satu-satunya hiburan baginya apabila cucu-cucunya yang masih balita mengunjunginya. Sepanjang hari waktunya akan ia habiskan untuk bermain bersama mereka, tapi kesempatan ini amat jarang ditemuinya.
Ternyata kaum pria sering tampak tak lebih kuat dari kaum wanita dalam menghadapi sebuah persoalan yang sama. Kebanyakan wanita jauh lebih tegar ketika disakiti suaminya. Kaum wanita pun mampu menyimpan masalahnya sendiri dan tidak menunjukkan perasaannya di depan umum, mereka masih mampu mencoba tersenyum di depan orang lain. Mereka pun lebih survive dalam menjalani hidup. Sementara kebanyakan kaum pria, cenderung menghindar atau lari dari masalah dan mengabaikan tanggung jawabnya. Demikian yang Ana amati dari beberapa kasus di sekitar rumahnya.
*** *** ***
Sedikit kisah di atas, sungguh sebuah potret hidup yang mungkin sering dijumpai dan memberikan banyak pelajaran, bahwa dalam berumah tangga peran seorang isteri sangat besar dalam menentukan ‘kesehatan jiwa’ suaminya. Wanita bisa menjadi ‘racun’ atau ‘madu’. Untuk menjadi keduanya, peran suami lah yang diperlukan, bagaimana ia mampu membimbing dan mendidik isterinya dalam menjalani proses hidup berumah tangga.
Maka kemudian, saat memulai hidup berumah tangga, doa yang dilantunkan bagi kedua mempelai adalah terwujudnya sebuah keluarga ’sakinah’, ‘mawaddah’ dan ‘rahmah’. Makna yang terkandung di dalamnya adalah, diharapkan pernikahan itu akan melahirkan rasa tenang, tentram, dan damai dalam hati kedua pasangan karena telah menemukan pelabuhan jiwa untuk berbagi suka dan duka serta penyempurna agamanya. Kemudian dalam perjalanannya, tumbuhlah rasa saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Ketika akhirnya sampai pada masa-masa kritis, di mana muncul berbagai permasalahan dan getar-getar cinta mulai memudar, diharapkan keduanya tetap saling berbagi kasih sayang. Rasa kasih sayang yang bukan lagi dilandaskan pada nafsu tetapi lebih kepada saling membutuhkan, saling menghargai peran masing-masing, dan saling menerima segala kekurangan yang semakin nyata di antara keduanya. Rasa kasih sayang yang akan saling menguatkan ketika salah satu di antara keduanya mulai lemah, menjadi penopang saat pasangannya mulai goyah dan merapuh.
Ketika itu, keriputnya kulit mengeratkan pelukan. Ompongnya gigi mengindahkan senyuman. Putihnya uban memancarkan kesetiaan. Rabunnya mata menguatkan genggaman. Hingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, karena cinta selalu mereka hadirkan dalam jiwa yang tetap menjaga hangatnya cinta belahan jiwa.
Di usianya yang belum genap setengah abad, lelaki itu sudah tampak pikun dengan wajah jauh lebih tua dibandingkan usianya. Hal ini terjadi sejak 7 tahun lalu, ketika ia kehilangan pekerjaan. Meski kedua anaknya telah berumahtangga dan boleh dibilang berkecukupan, namun sepertinya kurang banyak membantu perekonomian orang tuanya, terlebih masih ada si bungsu yang baru memasuki bangku kuliah.
Satu hal yang semakin membuatnya stress adalah sikap isterinya yang semakin dominan sejak ia menganggur. Isterinya akhirnya mengereditkan pakaian meski hanya untuk waktu-waktu menjelang lebaran saja. Tanpa segan dan malu, isterinya menceritakan kondisi suaminya kepada tetangga dan kadang menjatuhkan harga diri suaminya dengan mencemooh atau merendahkannya di muka umum.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Dulu, saat suaminya bekerja, boleh dibilang kehidupan mereka termasuk mapan dan berlebih. Sang isteri terbiasa hidup nyaman dan cukup glamour. Hal ini, masih sulit ditinggalkan sepenuhnya meski kondisi ekonominya kini terpuruk. Terlebih, usaha tambak ikan yang coba dirintis suaminya gagal total sebelum menuai hasil.
Penyakit begitu mudah menghampiri si bapak dan seringnya ia simpan sendiri. Sering ia terlihat di terasnya tengah memijit atau memukul-mukul sendiri bagian tubuhnya yang dirasa sakit. Ia terlihat banyak melamun, satu-satunya hiburan baginya apabila cucu-cucunya yang masih balita mengunjunginya. Sepanjang hari waktunya akan ia habiskan untuk bermain bersama mereka, tapi kesempatan ini amat jarang ditemuinya.
Ternyata kaum pria sering tampak tak lebih kuat dari kaum wanita dalam menghadapi sebuah persoalan yang sama. Kebanyakan wanita jauh lebih tegar ketika disakiti suaminya. Kaum wanita pun mampu menyimpan masalahnya sendiri dan tidak menunjukkan perasaannya di depan umum, mereka masih mampu mencoba tersenyum di depan orang lain. Mereka pun lebih survive dalam menjalani hidup. Sementara kebanyakan kaum pria, cenderung menghindar atau lari dari masalah dan mengabaikan tanggung jawabnya. Demikian yang Ana amati dari beberapa kasus di sekitar rumahnya.
*** *** ***
Sedikit kisah di atas, sungguh sebuah potret hidup yang mungkin sering dijumpai dan memberikan banyak pelajaran, bahwa dalam berumah tangga peran seorang isteri sangat besar dalam menentukan ‘kesehatan jiwa’ suaminya. Wanita bisa menjadi ‘racun’ atau ‘madu’. Untuk menjadi keduanya, peran suami lah yang diperlukan, bagaimana ia mampu membimbing dan mendidik isterinya dalam menjalani proses hidup berumah tangga.
Maka kemudian, saat memulai hidup berumah tangga, doa yang dilantunkan bagi kedua mempelai adalah terwujudnya sebuah keluarga ’sakinah’, ‘mawaddah’ dan ‘rahmah’. Makna yang terkandung di dalamnya adalah, diharapkan pernikahan itu akan melahirkan rasa tenang, tentram, dan damai dalam hati kedua pasangan karena telah menemukan pelabuhan jiwa untuk berbagi suka dan duka serta penyempurna agamanya. Kemudian dalam perjalanannya, tumbuhlah rasa saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Ketika akhirnya sampai pada masa-masa kritis, di mana muncul berbagai permasalahan dan getar-getar cinta mulai memudar, diharapkan keduanya tetap saling berbagi kasih sayang. Rasa kasih sayang yang bukan lagi dilandaskan pada nafsu tetapi lebih kepada saling membutuhkan, saling menghargai peran masing-masing, dan saling menerima segala kekurangan yang semakin nyata di antara keduanya. Rasa kasih sayang yang akan saling menguatkan ketika salah satu di antara keduanya mulai lemah, menjadi penopang saat pasangannya mulai goyah dan merapuh.
Ketika itu, keriputnya kulit mengeratkan pelukan. Ompongnya gigi mengindahkan senyuman. Putihnya uban memancarkan kesetiaan. Rabunnya mata menguatkan genggaman. Hingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, karena cinta selalu mereka hadirkan dalam jiwa yang tetap menjaga hangatnya cinta belahan jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar