Dengan membesar-besarkan Malala, media massa telah menyembunyikan peran pemerintah negara-negara barat dalam gejolak yang harus dihadapi rakyat Pakistan melawan Taliban serta menghadirkan pandangan yang simplistik tentang konflik-konflik internasional.
(Christina Maza; 'I am Malala' Review Reveals the Dark Truth About Malala Yousafzai's Rise to Stardom; policymic.com; 16 Oktober 2013)
Jangan pernah mudah percaya pada ketokohan orang-orang yang dibesarkan oleh media massa, karena biasanya semua itu adalah kebohongan, atau setidaknya dibuat-buat untuk kepentingan tertentu.
Contohnya sederhana saja. Kita tentu tidak boleh percaya begitu saja dengan ketokohan Aburizal Bakrie, Harry Tanoe, Surya Paloh, dan Dahlan Iskan hanya karena mereka dibesar-besarkan oleh TVOne, MNC, Metro TV, Jawa Pos dan Tempo. Atau ketokohan Chairul Tanjung yang dipuja-puji oleh Trans TV Group. Demikian juga dengan Malala, gadis yang disebut berasal dari Lembah Swat, Pakistan, yang dikenal sebagai seorang pejuang hak-hak wanita Pakistan.
Saya (blogger) sudah membaca berbagai cerita tentang kebohongan di balik tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela dan sebagainya. Tentu saja saya tidak percaya 100% persen dengan cerita-cerita itu. Namun dengan latar belakang saya sebagai "pencari kebenaran", setidaknya saya juga percaya bahwa tidak semua gambaran tentang tokoh-tokoh itu benar adanya.
Kita semua tentu tidak mengenal siapa Malala yang sebenarnya. Kita hanya mengetahui dari media massa setelah munculnya kabar tentang penembakan orang-orang Taliban Pakistan terhadap dirinya. Dan setelah itu ia menjadi selebriti dunia.
Parnahkan Anda berfikir, mengapa ia lebih memilih tinggal di Inggris daripada di Pakistan? Hidupnya pun kini lebih banyak dihabiskan dengan menghadiri pesta-pesta mewah dan upacara-upacara meriah (terakhir dikabarkan ia memenuhi undangan Presiden Barack Obama mengunjungi Gedung Putih setelah sebelumnya dikabarkan ia mengunjungi Istana Buckingham dan bertemu Ratu Elizabeth 2. Sebelum bertemu ratu Malala dikabarkan menghadiri seremonial yang diadakan untuk menghormati dirinya di Universitas Harvard Amerika, serta meresmikan perpustakaan terbesar di Eropa yang diberi nama sesuai namanya. Dan media-media massa terus-menerus mengelu-elukannya sebagai pejuang hak-hak wanita Pakistan.
Tunggu dulu. Ia juga dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian.
Tidakkah Anda sempat berfikir sejenak bahwa Malala sengaja menghindari pergi ke Pakistan (setelah namanya terkenal), karena ia memang bukan wanita Pakistan?
Baru-baru ini media Pakistan DAWN menulis laporan mengejutkan tentang siapa sosok Malala yang sebenarnya dalam artikel berjudul “Malala: The real Story (with evidence).” Dalam tulisan itu disebutkan bahwa nama asli Malala adalah Jane Malala dan bukannya Malala Yousafzai sebagaimana ditulis media-media massa. Ia adalah gadis kelahiran Hongaria dari keluarga misionaris Kristen. Berdasarkan bukti DNA yang dimiliki oleh seorang dokter Pakistan bernama Imtiaz Ali Khanzai, Jane bukanlah gadis dari Swat ataupun wanita Pashtoon. Hanya kebetulan ia berada di Lembah Swat (kemungkian tengah menjalani misi kekristenan) dan ditembak oleh Taliban pada bulan September 2012 pada saat ia berusia 15 tahun.
Aksi pengecut Taliban itu kontan saja menimbulkan simpati mendalam terhadap gadis malang itu. Dan karena diberitakan ke seluruh dunia, simpati pun menyebar ke seluruh dunia. Sebaliknya simpati negatif harus diterima rakyat Pakistan, dan tentu saja umat Islam. Dan Amerika pun merasa berhak untuk meningkatkan kampanye militernya membunuhi para ekstermis Islam di Pakistan dan Afghanistan meski korban yang jatuh kebanyakan adalah anak-anak yang tidak berdosa. Dan Malala, yang tinggal di Inggris, tidak pernah sekalipun menyatakan kecamannya pada kekejaman Amerika dan sekutu-sekutunya di Afghanistan dan Pakistan.
(Christina Maza; 'I am Malala' Review Reveals the Dark Truth About Malala Yousafzai's Rise to Stardom; policymic.com; 16 Oktober 2013)
Jangan pernah mudah percaya pada ketokohan orang-orang yang dibesarkan oleh media massa, karena biasanya semua itu adalah kebohongan, atau setidaknya dibuat-buat untuk kepentingan tertentu.
Contohnya sederhana saja. Kita tentu tidak boleh percaya begitu saja dengan ketokohan Aburizal Bakrie, Harry Tanoe, Surya Paloh, dan Dahlan Iskan hanya karena mereka dibesar-besarkan oleh TVOne, MNC, Metro TV, Jawa Pos dan Tempo. Atau ketokohan Chairul Tanjung yang dipuja-puji oleh Trans TV Group. Demikian juga dengan Malala, gadis yang disebut berasal dari Lembah Swat, Pakistan, yang dikenal sebagai seorang pejuang hak-hak wanita Pakistan.
Saya (blogger) sudah membaca berbagai cerita tentang kebohongan di balik tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Nelson Mandela dan sebagainya. Tentu saja saya tidak percaya 100% persen dengan cerita-cerita itu. Namun dengan latar belakang saya sebagai "pencari kebenaran", setidaknya saya juga percaya bahwa tidak semua gambaran tentang tokoh-tokoh itu benar adanya.
Kita semua tentu tidak mengenal siapa Malala yang sebenarnya. Kita hanya mengetahui dari media massa setelah munculnya kabar tentang penembakan orang-orang Taliban Pakistan terhadap dirinya. Dan setelah itu ia menjadi selebriti dunia.
Parnahkan Anda berfikir, mengapa ia lebih memilih tinggal di Inggris daripada di Pakistan? Hidupnya pun kini lebih banyak dihabiskan dengan menghadiri pesta-pesta mewah dan upacara-upacara meriah (terakhir dikabarkan ia memenuhi undangan Presiden Barack Obama mengunjungi Gedung Putih setelah sebelumnya dikabarkan ia mengunjungi Istana Buckingham dan bertemu Ratu Elizabeth 2. Sebelum bertemu ratu Malala dikabarkan menghadiri seremonial yang diadakan untuk menghormati dirinya di Universitas Harvard Amerika, serta meresmikan perpustakaan terbesar di Eropa yang diberi nama sesuai namanya. Dan media-media massa terus-menerus mengelu-elukannya sebagai pejuang hak-hak wanita Pakistan.
Tunggu dulu. Ia juga dinominasikan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian.
Tidakkah Anda sempat berfikir sejenak bahwa Malala sengaja menghindari pergi ke Pakistan (setelah namanya terkenal), karena ia memang bukan wanita Pakistan?
Baru-baru ini media Pakistan DAWN menulis laporan mengejutkan tentang siapa sosok Malala yang sebenarnya dalam artikel berjudul “Malala: The real Story (with evidence).” Dalam tulisan itu disebutkan bahwa nama asli Malala adalah Jane Malala dan bukannya Malala Yousafzai sebagaimana ditulis media-media massa. Ia adalah gadis kelahiran Hongaria dari keluarga misionaris Kristen. Berdasarkan bukti DNA yang dimiliki oleh seorang dokter Pakistan bernama Imtiaz Ali Khanzai, Jane bukanlah gadis dari Swat ataupun wanita Pashtoon. Hanya kebetulan ia berada di Lembah Swat (kemungkian tengah menjalani misi kekristenan) dan ditembak oleh Taliban pada bulan September 2012 pada saat ia berusia 15 tahun.
Aksi pengecut Taliban itu kontan saja menimbulkan simpati mendalam terhadap gadis malang itu. Dan karena diberitakan ke seluruh dunia, simpati pun menyebar ke seluruh dunia. Sebaliknya simpati negatif harus diterima rakyat Pakistan, dan tentu saja umat Islam. Dan Amerika pun merasa berhak untuk meningkatkan kampanye militernya membunuhi para ekstermis Islam di Pakistan dan Afghanistan meski korban yang jatuh kebanyakan adalah anak-anak yang tidak berdosa. Dan Malala, yang tinggal di Inggris, tidak pernah sekalipun menyatakan kecamannya pada kekejaman Amerika dan sekutu-sekutunya di Afghanistan dan Pakistan.
Keterangan gambar:Malala bertemu Ratu Elizabeth. Lihat baju merah hitam yang dikenakan Malala. Para pengamat Teori Konspirasi telah lama mencurigai baju dengan warna itu sebagai bentuk "inisiasi" seseorang ke dalam kelompok elit global.
Tidak lama setelah penembakan terhadap Malala Yousafzai pada bulan Oktober 2012, para politisi dan selebriti dunia pun secara serentak menyatakan dukungannya kepada Malala: Presiden Barack Obama, Menlu Hillary Clington, Sekjen PBB Ban Ki-moon hingga mantan PM Inggris Gordon Brown. Artis Hollywood Angelina Jolie bahkan mengusulkan Malala menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian sementara penyanyi paling top dunia Madonna membuat tato bertuliskan Malala di punggungnya. Namun itu semua belum seberapa, majalah Time memasukkan namanya dalam daftar tokoh paling berpengaruh di dunia.
Namun tidak ada satupun dukungan diberikan kepada 2 gadis Pakistan lainnya yang bersama-sama Malala menjadi korban penembakan Taliban. Kita bahkan tidak pernah mendengar nama-nama mereka.
Lima hari setelah insiden penembakan Malala, tentara Amerika menembak mati 3 anak-anak Afghanistan di Distrik Nawa, Provinsi Helmand Province, yang tidak jauh letaknya dari lokasi penembakan Malala di Lembah Swat, Pakistan. Namun tidak banyak berita tentang penembakan itu, apalagi penyebutan nama anak-anak itu: Borjan (12 tahun); Sardar Wali (10 tahun) dan Khan Bibi (8 tahun). Dan pembunuhan bocah-bocah Afghanistan dan Pakistan oleh Amerika pun terus berlanjut. 11 hari setelah penembakan Malala, pasukan Amerika kembali membunuh 4 anak Afghanistan, dan tidak satu pun media massa dunia yang menyebutkan nama-nama mereka. Dan sudah barang tentu Barack Obama dan Hillary Clington juga bungkam tentang pembunuhan-pembunuhan bocah-bocah itu.
Jadi jika kemudian muncul kecurigaan bahwa Malala hanya menjadi obyek pengalih perhatian, messiah palsu atau teori-teori konspirasi lainnya, hal itu tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Saya sendiri memperkirakan tidak lama lagi foto-foto Malala akan muncul dalam pose aneh: pose "tanduk setan" seperti Agnes Monica dalam cover album CD terbarunya atau pose "mata dajjal" sebagaimana para tokoh Partai Demokrat, serta mengenakan jam tangan seharga Rp 600 juta sebagaimana tokoh spiritual Tibet Dalai Lama.
Lalu siapa sebenarnya Malala Yousufzai, remaja putri yang kini menjadi selebriti paling top dunia itu?
Malala yang lahir pada tgl 12 Juli 1997 itu berayahkan Ziauddin Yousufzai, pemilik sebuah jaringan sekolah swasta yang merupakan salah satu bisnis paling menguntungkan di Pakistan, terutama karena statusnya sebagai LSM menjadi penerima dana sumbangan asing.
Adalan reporter BBC Abdul Hai Kakkar yang telah "menemukan" Malala pada tahun 2009 setelah ditugaskan untuk mencari profil pelajar wanita yang berani menghadapi ancaman kelompok teororis Tehrik-e Taliban Pakistan pimpinan Mullah Fazlullah yang menentang anak perempuan bersekolah. Kakkar berhasil mendekati Ziauddin Yusufzai yang bersedia menjadikan putrinya, Malala, sebagai ikon perlawanan terhadap Taliban dan ekstremis Islam lainnya.
Maka rencana pun dibuat. Malala yang saat itu berumur 11 tahun menuliskan pengalaman-pengalaman hidupnya di Lembah Swat dalam buku harian yang selanjutnya dimuat pada situs online BBC World Service dengan judul “The Diary of a Pakistani School Girl.” Untuk menjamin keamanan, nama Malala disamarkan menjadi “Gul Makai” (bunga jagung).
Diari itu menceritakan secara detil kehidupan penduduk Pakistan di bawah kekuasaan Taliban serta pandangan-pandangan Malala tentang pendidikan wanita. Mirip dengan buku "Habis Gelap Terbitlan Terang" yang membuat saya juga mencurigai peran RA. Kartini sebagai agen kolonialisme Belanda, terutama ketika mereka menerapkan kebijakan "Politik Etis" di Hindia Belanda. Tentu saja pandangan Malala tentang pendidikan sejalan dengan kepentingan bisnis ayahnya.
Namun akhirnya identitas Malala akhirnya terbongkar yang berujung pada penembakan dirinya dan kemudian menjadi blessing in disguise bagi Malala dan keluarganya. Semuanya berkat Adam B. Ellick dari (lagi-lagi media barat) New York Times.
Tidak lama setelah penembakan terhadap Malala Yousafzai pada bulan Oktober 2012, para politisi dan selebriti dunia pun secara serentak menyatakan dukungannya kepada Malala: Presiden Barack Obama, Menlu Hillary Clington, Sekjen PBB Ban Ki-moon hingga mantan PM Inggris Gordon Brown. Artis Hollywood Angelina Jolie bahkan mengusulkan Malala menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian sementara penyanyi paling top dunia Madonna membuat tato bertuliskan Malala di punggungnya. Namun itu semua belum seberapa, majalah Time memasukkan namanya dalam daftar tokoh paling berpengaruh di dunia.
Namun tidak ada satupun dukungan diberikan kepada 2 gadis Pakistan lainnya yang bersama-sama Malala menjadi korban penembakan Taliban. Kita bahkan tidak pernah mendengar nama-nama mereka.
Lima hari setelah insiden penembakan Malala, tentara Amerika menembak mati 3 anak-anak Afghanistan di Distrik Nawa, Provinsi Helmand Province, yang tidak jauh letaknya dari lokasi penembakan Malala di Lembah Swat, Pakistan. Namun tidak banyak berita tentang penembakan itu, apalagi penyebutan nama anak-anak itu: Borjan (12 tahun); Sardar Wali (10 tahun) dan Khan Bibi (8 tahun). Dan pembunuhan bocah-bocah Afghanistan dan Pakistan oleh Amerika pun terus berlanjut. 11 hari setelah penembakan Malala, pasukan Amerika kembali membunuh 4 anak Afghanistan, dan tidak satu pun media massa dunia yang menyebutkan nama-nama mereka. Dan sudah barang tentu Barack Obama dan Hillary Clington juga bungkam tentang pembunuhan-pembunuhan bocah-bocah itu.
Jadi jika kemudian muncul kecurigaan bahwa Malala hanya menjadi obyek pengalih perhatian, messiah palsu atau teori-teori konspirasi lainnya, hal itu tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Saya sendiri memperkirakan tidak lama lagi foto-foto Malala akan muncul dalam pose aneh: pose "tanduk setan" seperti Agnes Monica dalam cover album CD terbarunya atau pose "mata dajjal" sebagaimana para tokoh Partai Demokrat, serta mengenakan jam tangan seharga Rp 600 juta sebagaimana tokoh spiritual Tibet Dalai Lama.
Lalu siapa sebenarnya Malala Yousufzai, remaja putri yang kini menjadi selebriti paling top dunia itu?
Malala yang lahir pada tgl 12 Juli 1997 itu berayahkan Ziauddin Yousufzai, pemilik sebuah jaringan sekolah swasta yang merupakan salah satu bisnis paling menguntungkan di Pakistan, terutama karena statusnya sebagai LSM menjadi penerima dana sumbangan asing.
Adalan reporter BBC Abdul Hai Kakkar yang telah "menemukan" Malala pada tahun 2009 setelah ditugaskan untuk mencari profil pelajar wanita yang berani menghadapi ancaman kelompok teororis Tehrik-e Taliban Pakistan pimpinan Mullah Fazlullah yang menentang anak perempuan bersekolah. Kakkar berhasil mendekati Ziauddin Yusufzai yang bersedia menjadikan putrinya, Malala, sebagai ikon perlawanan terhadap Taliban dan ekstremis Islam lainnya.
Maka rencana pun dibuat. Malala yang saat itu berumur 11 tahun menuliskan pengalaman-pengalaman hidupnya di Lembah Swat dalam buku harian yang selanjutnya dimuat pada situs online BBC World Service dengan judul “The Diary of a Pakistani School Girl.” Untuk menjamin keamanan, nama Malala disamarkan menjadi “Gul Makai” (bunga jagung).
Diari itu menceritakan secara detil kehidupan penduduk Pakistan di bawah kekuasaan Taliban serta pandangan-pandangan Malala tentang pendidikan wanita. Mirip dengan buku "Habis Gelap Terbitlan Terang" yang membuat saya juga mencurigai peran RA. Kartini sebagai agen kolonialisme Belanda, terutama ketika mereka menerapkan kebijakan "Politik Etis" di Hindia Belanda. Tentu saja pandangan Malala tentang pendidikan sejalan dengan kepentingan bisnis ayahnya.
Namun akhirnya identitas Malala akhirnya terbongkar yang berujung pada penembakan dirinya dan kemudian menjadi blessing in disguise bagi Malala dan keluarganya. Semuanya berkat Adam B. Ellick dari (lagi-lagi media barat) New York Times.
REF:
"Truth about Malala: Fraud unearthed!"; Nadeem Iftekhar; dawn.com; 11 Oktober 2013
"Truth about Malala: Fraud unearthed!"; Nadeem Iftekhar; dawn.com; 11 Oktober 2013
Hanya orang bodoh yang bisa percaya tulisan mu.
BalasHapusHanya orang bodoh yang bisa percaya tulisan mu.
BalasHapussaya juga menaruh curiga dengan anak ajaib bernama "Malala" ini. Namun di artikel ini saya tidak setuju ketika RA Kartini dianggap berhubungan dengan kolonial belanda. Di buku Api Sejarah karya Mansur Suryanegara secara detail peran beliau tidak pernah pro terhadap belanda
BalasHapus