Halaman

Minggu, 20 Oktober 2013

Kisah penyembelihan Ismail AS

DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah  yang  berhadapan  dengan  Laut
Merah  -  antara  Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer  dari  pantai.
Bukit-bukit  ini  mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu  kalau  tidak  dibuka  oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju  ke  Yaman,  yang  kedua  jalan  dekat  Laut  Merah  di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.

Dalam  lembah  yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota  ini  sungguh
sukar  sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah  itu  digunakan  sebagai  tempat
perhentian  kafilah  sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian  rornbongan  kafilah
itu  membentangkan  kemah-kemah  mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju  Yaman.  Mungkin  sekali  Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama  yang  menjadikannya  sebagai  tempat  tinggal,   yang
sebelum  itu  hanya  dijadikan  tempat  kafilah  lalu saja dan
tempat perdagangan secara  tukar-menukar  antara  yang  datang
dari  arah  selatan  jazirah  dengan  yang  bertolak dari arah
utara.

Kalau  Ismail  adalah  orang  pertama  yang  menjadikan  Mekah
sebagai  tempat  tinggal,  maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa  daerah  ini
dipakai  tempat  ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah  kedatangannya  ketempat  itupun  memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.

Ibrahim  dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual  kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah  oleh  masyarakat  dan  betapa pula mereka memberikan
rasa  hormat  dan  kudus  kepada  sekeping  kayu  yang  pernah
dikerjakan  ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana  hasil  kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?

Kemudian  Ibrahim  menceritakan  hal  itu  kepada  orang lain.
Ayahnyapun  sangat  memperhatikan  tingkah-laku  anaknya  itu;
karena  ia  kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya.  Ia
ingin    membuktikan    kebenaran   pendapatnya   itu   dengan
alasan-alasan yang dapat  diterima.  Ia  mengambil  kesempatan
ketika  orang  sedang  lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala  itu  dihancurkan,  kecuali  berhala  yang  paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

"Engkaukah  yang  melakukan  itu  terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)

Ibrahim melakukan itu sesudah ia  memikirkan  betapa  sesatnya
mereka  menyembah  berhala,  sebaliknya  siapa yang seharusnya
mereka sembah.

"Bila  malam  sudah  gelap,  dilihatnya  sebuah  bintang.   Ia
berkata:  Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun  berkata:  'Aku  tidak  menyukai  segala  yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun  berkata:  'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit,  iapun  berkata:  'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu  juga  kemudian  terbenam,  iapun
berkata:  'Oh  kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku  hanya  kepada  yang
telah  menciptakan  semesta  langit  dan  bumi  ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)

Ibrahim  tidak  berhasil  mengajak  masyarakatnya  itu.  Malah
sebagai  balasan  ia  dicampakkan  ke  dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah.  Dari  Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di  bawah  kekuasaan  raja-raja  Amalekit
(Hyksos).

Sarah  adalah  seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos   biasa   mengambil   wanita-wanita    bersuami    yang
cantik-cantik.  Ibrahim  memperlihatkan,  seolah  Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh  dan  Sarah  akan  diperisterikan
raja.  Dan  raja  memang  bermaksud  akan  memperisterikannya.
Tetapi  dalam  tidurnya  ia  bermimpi  bahwa  Sarah  bersuami.
Kemudian  dikembalikan  kepada  Ibrahim  sambil  dimarahi.  Ia
diberi beberapa  hadiah  di  antaranya  seorang  gadis  belian
bernama  Hajar-  Olelm  karena  Sarah  sesudah  bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka  oleh  Sarah
disuruhnya  ia  bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah  beroleh  anak,  yaitu  Ismail.  Sesudah  Ismail   besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan  oleh  Ibrahim.  Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa  yang  disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan  menguji  adanya  perselisihan  pendapat  itu.
Dalam   Qishash'l-Anbia'   Syaikh   Abd'l   Wahhab   an-Najjar
berpendapat,  bahwa  yang  disembelih   itu   adalah   Ismail.
Argumentasi  ini  diambilnya  dari  Taurat  sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak  Ibrahim  satu-satunya.
Pada  waktu  itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim  tidak
lagi  tunggal,  melainkan  sudah  ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil  cerita  itu  seharusnya  kisah  penyembelihan   dan
penebusan  itu  terjadi  di  Palestina.  Hal  ini  memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu  terjadi  terhadap
diri  Ishaq.  Selama  itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke  Hijaz.  Akan  tetapi  cerita
yang  mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit  Mina,  maka  ini  tentu  berlaku  terhadap  diri
Ismail.  Oleh  karena  di  dalam  Qur'an tidak disebutkan nama
person  korban  itu,  maka  ahli-ahli  sejarah  kaum  Muslimin
berlain-lainan pendapat.

Tentang  pengorbanan  dan  penebusan  itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi,  bahwasanya  Tuhan  memerintahkan  kepadanya
supaya   anaknya  itu  dipersembahkan  sebagai  kurban  dengan
menyembelihnya.  Pada  suatu  pagi  berangkatlah   ia   dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi,  bahwa
aku  menyembelihmu.  Lihatlah,  bagaimanakah  pendapatmu?'  Ia
menjawab: 'Wahai ayahku.  Lakukanlah  apa  yang  diperintahkan
kepadamu.  Jika  dikehendaki  Tuhan,  akan kaudapati aku dalam
kesabaran.'   Setelah   keduanya    menyerahkan    diri    dan
dibaringkannya  ke  sebelah  keningnya,  ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan  begitu,
Kami  memberikan  balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya  dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)

Beberapa  cerita  melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan,  sekalipun
tidak  membawa  kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan  bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu,  mari  kita
pergi  ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang  laki-laki,  mendatangi  ibu  anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim  membawa  anakmu?'  'Ia  pergi
mencari  kayu  dari  lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi,  'ia  pergi  akan  menyembelihnya.'  Ibu  itu
menjawab  lagi:  'Tidak.  Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'

'Kalau  itu  memang  perintah  Tuhan   biarkan   dia   menaati
perintahNya,'  jawab  ibu  itu.  Setan  itu  lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya  itu.  Kepada  anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun  sama  dengan  jawaban  ibunya
juga.  Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya  ia  menyembelih
anaknya  dan  akhirnya  akan  menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa  jengkel  Iblis  itu
mundur  teratur,  karena  maksudnya  tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.

Kemudian  itu  Ibrahim  menyatakan  kepada   anaknya   tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam  ballada  itu:  'Ayah,
kalau  ayah  akan  menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan  akan  mengurangi  pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah  sudah  merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir  bila  ayah  kelak  melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau  ayah  berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'

'Anakku,'  kata  Ibrahim,  'ini  adalah  bantuan  besar  dalam
melaksanakan perintah Allah.'

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu  lalu  dibaringkan  keningnya  untuk  disembelih.   Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan  seekor  domba
besar   yang   terdapat  tidak  jauh  dari  tempat  itu.  Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini  adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

Ishaq  telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama  terhadap  keduanya.  Akan  tetapi  Sarah  menjadi  gusar
melihat  anaknya  itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan  anaknya  tatkala  dilihatnya  Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa  bahwa  hidupnya  takkan  bahagia  kalau  kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke  arah  selatan.  Mereka
sampai  ke  suatu  lembah,  letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat  para  kafilah
membentangkan  kemahnya  pada  waktu  mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman  ke  Syam.  Tetapi
pada  waktu  itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail   dan   ibunya   oleh    Ibrahim    ditinggalkan    dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk  tempat  ia  berteduh  dengan  anaknya.  Dan  Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.

Sesudah  kehabisan  air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun  ke
lembah  mencari  air.  Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali,  ia
kembali  kepada  anaknya  dengan  membawa  perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya  anaknya  sedang  mengorek-ngorek
tanah  dengan  kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya  mata
air  itu  supaya  jangan  mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.

Anak yang bersama ibunya itu membantu  orang-orang  Arab  yang
sedang  dalam  perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka  sampai  pada  musim  kafilah
yang akan datang.

Mata  air  yang  memancar  dari  sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat  tempat  itu.  Beberapa
keterangan   mengatakan,  bahwa  kabilah  Jurhum  adalah  yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya  sumber  sumur  Zamzam,  sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.

Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah  Jurhum.  Ia  dengan  isterinya  tinggal  bersama-sama
keluarga  Jurhum  yang  lain.  Di  tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.

Juga disebutkan bahwa  pada  suatu  hari  Ibrahim  minta  ijin
kepada  Sarah  akan  mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah  ia  mencari  dan  menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"

"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.

Kemudian  ditanya  lagi,  dapatkah  ia  menjamu  makanan  atau
minuman, dijawab  bahwa  dia  tidak  mempunyai  apa-apa  untuk
dihidangkan.

Ibrahim  pergi,  setelah  mengatakan:  "Kalau  suamimu  datang
sampaikan  salamku  dan  katakan  kepadanya:   "Ganti   ambang
pintumu."

Setelah  pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera  menceraikan  isterinya,  dan  kemudian  kawin  lagi
dengan  wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian  ia  pernah  datang.  "Sekarang  ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak,  dan
mereka  inilah  yang  menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari  pihak  ibunya  erat  sekali
bertalian  dengan  Mesir,  dan  dari  pihak  bapa  dengan Irak
(Mesopotamia)  dan  Palestina,  atau   kemana   saja   Ibrahim
menginjakkan kaki.

0 komentar:

Posting Komentar