Halaman

Selasa, 15 Oktober 2013

Diskriminasi Rasial dalam Sinema AS

Pada tanggal 3 Agustus 1492, Christopher Columbus dan anak buahnya lepas sauh dari Palos, Spanyol, dengan bermodalkan tiga kapal, yaitu Santa Maria, Pinta, dan Nina. Lebih dari dua bulan kemudian mereka akhirnya tiba di sebuah pulau, yang diberi nama Bahama dan berada di dekat sebuah benua, yang kini bernama Amerika. Setelah pendaratan itu, sejarah benua tersebut ditulis sesuai dengan pandangan ras kulit putih dan etnis pendatang. Sejarah "Dunia Baru" itu diwarnai dengan penjajahan terhadap penduduk pribumi dan ada banyak pengalaman pahit yang menghiasinya seperti diskriminasi ras.

Dengan melihat sejarah penemuan Amerika Serikat, di mana sebelum deklarasi kemerdekaannya pada Juni 1776, undang-undang dengan nama "ras unggulan" telah diumumkan dan dilaksanakan di wilayah itu. Prinsip mengistimewakan ras kulit putih terhadap ras kulit hitam dan Indian sejak awal telah melahirkan diskriminasi rasial dan pelanggaran hak-hak etnis mayoritas di tengah masyarakat.

Diskriminasi ras berlanjut selama bertahun-tahun dan suku Indian dan warga kulit hitam hidup di bawah kondisi yang sulit dan tidak manusiawi. Meski mengalami beberapa kemajuan dalam undang-undang sipil dan politik Amerika, namun sistem perbudakan hingga abad ke-19 tidak dianggap bagian dari isu diskriminasi dan bagian dari praktek membeda-bedakan ras.

Masyarakat Amerika mengalami perubahan besar dan memasuki perang baru setelah pecahnya perang saudara Amerika Serikat (1861–1865) atau perang antar Negara Bagian dan bebasnya jutaan budak dari sistem perbudakan. Dalam perang itu, ras kulit putih tidak bersedia melepaskan kekayaan dan atribut-atribut keunggulan mereka dan tidak ingin memperlakukan para mantan budaknya seperti manusia biasa. Dari sisi lain, kaum kulit hitam juga ingin memperjuangkan hak-hak mereka yang telah dirampas oleh ras kulit putih.

Akhirnya muncul berbagai masalah baru dan hubungan antara ras kulit putih dan ras kulit hitam bukannya bertambah baik, tapi malah melahirkan permusuhan kaum kulit putih dan mendorong mereka bangkit menekan ras kulit hitam di berbagai medan seperti media dan sinema. Sejarah panjang penderitaan ras kulit hitam dan Indian Amerika telah dimulai sejak pertama kali produksi film-film, yang mengangkat isu rasial dan keunggulan ras kulit putih atas warga lain.

Novel Uncle Tom's Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang mengisahkan derita para budak Afrika di Amerika, mendapat sambutan luas dari para penentang sistem perbudakan, namun menuai kritik dari para pendukung sistem tersebut. Beberapa pihak berpendapat bahwa novel itu menyinggung percikan-percikan perang antara Utara dan Selatan Amerika dan Abraham Lincoln berkata kepada penulis buku itu, "Jadi Anda wanita kecil yang menulis buku yang mengobarkan perang besar ini."

Novel Uncle Tom's Cabin membantu banyak orang Amerika abad ke-19 menentukan jenis negara yang mereka inginkan. Segera setelah publikasi, Uncle Tom's Cabin  mendapat pujian sebagai sebuah prestasi dan celaan sebagai tidak akurat. Sebagian menilai buku itu tidak cukup kuat dalam seruan untuk segera mengakhiri perbudakan. Sementara yang lain memuji buku untuk menekankan dampak perbudakan dan membantu masyarakat memahami dan berempati dengan penderitaan para budak.

Pro-kontra perbudakan di Amerika mulai menghiasi layar-layar sinema dan memunculkan perdebatan panas di tengah masyarakat. Film pertama yang mengangkat isu diskriminasi ras adalah The Birth of a Nation karya D. W. Griffith pada tahun 1915. Film ini sukses secara komersil, namun sangat kontroversial karena menggambarkan karakteristik pria Afrika-Amerika sebagai bodoh dan agresif secara seksual terhadap perempuan kulit putih, dan penggambaran Ku Klux Klan sebagai kekuatan heroik. Ada protes luas terhadap The Birth of a Nation, dan itu dilarang di beberapa kota.

Ku Klux Klan adalah sebuah kelompok rasis ekstrim di Amerika Serikat, yang berdiri pada 24 Desember 1865. Kelompok ini berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik. Mereka mendirikan organisasi tersebut dengan maksud untuk memberantas kaum kulit hitam dan minoritas di AS. Ku Klux Klan gencar menjalankan aksi pembunuhan terhadap warga kulit hitam dan juga menyerang warga kulit putih yang dianggap sebagai pelindung kulit hitam.

Aksi Ku Klux Klan memuncak pada dasawarsa 1950-1960-an yang akhirnya memunculkan gelombang perlawanan dari kalangan kulit hitam Amerika dan tokoh-tokoh yang menyerukan persamaan hak dan anti rasisme seperti Malcolm X dan Martin Luther King. Namun demikian, hingga kini pemerintah AS dianggap belum pernah melakukan usaha serius untuk memberantas kelompok yang dikategorikan berbahaya ini. Kekejaman Ku Klux Klan dapat disaksikan dari film dokumenter Missisipi Burning.

Para sutradara yang menentang perbudakan dan diskriminasi bahkan menolak memberikan peran utama kepada kelompok kulit hitam. Mereka hanya setuju mengubah peran warga kulit hitam sebagai pelayan yang baik dan setia atau peran-peran antagonis. Akan tetapi, sutradara dan produser ternama, Stanley Kramer memproduksi sebuah film The Defiant Ones 1958, yang menceritakan kisah dua tahanan yang melarikan diri, satu putih dan satu hitam. Mereka diborgol bersama dan harus bekerja sama untuk bertahan hidup.

Meskipun ada kebencian timbal balik di antara mereka, tapi mereka dipaksa untuk bekerja sama, karena mereka dirantai bersama-sama. Pada awalnya, kerjasama mereka dimotivasi oleh upaya mempertahankan hidup, namun secara bertahap, mereka mulai menghormati dan saling menyukai.

Sejalan dengan perkembangan baru, sejumlah warga kulit hitam juga mulai berkecimbung di dunia perfilman dan menjadi aktor terkenal di dunia baru itu. Aktor-aktor kulit hitam itu antara lain, Sir Sidney Poitier, Denzel Washington, Will Smith, Eddie Murphy, dan Hattie McDaniel. Sidney Poitier bahkan menjadi aktor non kulit putih pertama yang memenangkan Piala Oscar - anugerah paling bergengsi dalam industri film di Amerika Serikat. Poitier menjadi aktor berkulit hitam yang mencuri perhatian surga perfilman Hollywood dalam peran murni, tanpa melibatkan nyanyian dan tarian.

Industri perfilman Amerika khususnya di Hollywood dinominasi oleh kelompok kulit putih. Diskriminasi terhadap kulit hitam sebenarnya suatu yang telah menjadi tradisi Hollywood. Ini adalah persepsi Amerika terhadap kulit hitam yang membentuk persepsi yang serupa kepada pelanggan-pelanggan film Hollywood di seluruh dunia.

Denzel Washington mengisahkan perjuangan panjangnya untuk bisa masuk ke Hollywood. Mengenai kondisi kerjanya, Denzel mengatakan, "Setiap manusia punya satu warna dan manusia tidak boleh diukur menurut warna kulit. Kami sebagai warga kulit hitam harus bekerja dua kali lipat dari warga kulit putih untuk bisa membuktikan kemampuan kami, ini adalah sesuatu yang tidak adil. Kami telah membuktikan kemampuan kami di banyak bidang dan memaksa orang lain untuk menerima kehadiran kami. Padahal, pekerjaan-pekerjaan itu sungguh sangat sulit."

Denzel lebih lanjut mengatakan, "Hollywood tidak bisa meremehkan kami dan akhirnya terpaksa mengakui karya warga kulit hitam. Kami semua telah bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami sejajar dengan seniman kulit putih. Hollywood selama bertahun-tahun berusaha meremehkan kami dan peran-peran pembantu diberikan kepada kami. Akan tetapi, kami sukses tampil sebagai pemeran utama di sinema sebagaimana kehadiran dominan kami di tengah masyarakat."

Sekarang, warga kulit hitam telah membuktikan kesuksesan mereka di dunia sinema dan aktif di berbagai bidang. Namun, kehadiran itu bukan karena persamaan kondisi kerja, tapi karena kerja keras dan perjuangan tiada henti kaum kulit hitam.

0 komentar:

Posting Komentar