Dina Y. Sulaeman*
Bulan Juli 2012, saat saya diundang ikut konferensi internasional Women and Islamic Awakening di Iran, saya datang ke perpustakaan Imam Ridha di kota Mashad, untuk mencari naskah Quran kuno untuk bahan disertasi suami saya yang sedang mendalami filologi di Unpad. Di sana saya bertemu dengan Mr.R, seorang kurator naskah kuno. Aneh sekali, Mr.R tidak mengenal istilah ‘filologi’. Dengan susah payah saya coba jelaskan apa itu filologi (ya iyalah susah, karena itu bukan bidang ilmu saya, dan saya harus menjelaskan dalam bahasa Persia). Setelah diskusi cukup lama, akhirnya ketahuan, pada dasarnya apa yang dilakukan Mr R selama ini pun adalah kerjaannya para filolog: eksaminasi, kodikologi, kritik teks, dll. Bahkan Mr R menunjukkan ke saya enam jilid buku yang masing-masingnya sangat tebal, isinya adalah kodikologi puluhan ribu naskah kuno.
Singkat cerita, Mr R bersedia membantu suami saya untuk mendapatkan naskah Quran kuno. Tiga bulan kemudian, setelah pihak perpustakaan rapat internal dan menyetujui permohonan kami, mereka pun mengirimkan data digital naskah Quran kuno era Imam Ali (dan diduga kuat naskah itu tulisan tangan Imam Ali).
Bulan ini, suami saya berkesempatan datang langsung ke perpustakaan tersebut dan bertemu dengan Mr.R untuk penelitian lanjutan. Dia juga sempat bertemu dengan Rektor Univ. Ferdowsi dan bertanya kepada sang Rektor, “Mengapa jurusan filologi tidak ada universitas ini dan di Iran pada umumnya?”
Jawaban sang rektor menarik sekali, “Kami belum menemukan alasan, mengapa studi filologi diperlukan secara khusus. Di sini tentu ada studi tentang naskah-naskah lama, tapi tidak sampai menjadi satu studi khusus. Itu terjadi karena kalangan akademisi Iran tidak mendapatkan kesulitan berarti ketika berhadapan dengan naskah-naskah lama Iran. Bahasa dan aksara dari naskah yang berusia seribu tahun, misalnya, masih dengan mudah dibaca oleh masyarakat terpelajar zaman sekarang, apapun bidang studi mereka.”
Nah, sekarang, pertanyaannya: mengapa Indonesia perlu filologi? Itu karena naskah-naskah lama Nusantara adalah sesuatu yang betul-betul asing; baik bahasanya ataupun aksaranya. Jangankan seribu tahun, yang seratus tahun sajapun sudah terasa sangat aneh. Tugas filolog adalah menguak isi naskah kuno dalam rangka memahami nilai-nilai yang ada di dalamnya, untuk bisa dimanfaatkan oleh masyarakat zaman sekarang.
Satu poin penting yang bisa ditarik dari cerita ini: masyarakat Indonesia zaman sekarang sangat teralienasi dari masa lalu. Padahal, yang dimaksud kuno dalam konteks Nusantara tidaklah lama-lama amat. Cukup 100 tahun yang lalu sudah dianggap kuno. Tapi berapa banyak dari kita yang mampu membaca naskah berusia 100 tahun? Di Iran, kitab syair berusia 1000 tahun pun masih bisa dibaca anak-anak muda zaman sekarang.
Diduga kuat, keterasingan memang secara sengaja dibuat oleh kolonial demi kepentingan keberlanjutan kolonialisme. Keterasingan ini membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa dengan kadar softpower sangat rendah. Bangsa ini mudah diguncang dan diobok-obok, gampang diotakut-takuti, kebersamaan-nya sangat rapuh, karena tak banyak yang mereka ingat dari masa lalu sebagai sumber kebanggaan.
Nah, ini nyambung dengan statusnya Hendi Jo: “Begitu seringnya bangsa ini dibodohi. Ketika pada 1920-an Prof. C.C Berg dari Leiden membawa naskah Kidung Sundayana (yang menceritakan peristiwa Perang Bubat) hasil editnya ke Jawa, orang-orang Sunda dan Jawa tanpa kritik tanpa selidik langsung mengamini. Maka sejak itu, mulailah cerita konflik Sunda-Jawa diturun-temurunkan dalam nada penuh kebencian. Kita secara tak sadar, masuk perangkap C.C Berg yang tak lain adalah akademisi peliharaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejarah memang tak cukup dibaca saja, tapi harus dianalisa, dipikirkan dan dikritisi.”
Nyambung juga dengan komen dari M Arief Pranoto dan Mas Hendrajit: “Dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, ditemukan tahapan tak kalah penting dalam sebuah peperangan serta dianggap sebagai model berulang dalam kolonialisme, yaitu "pengaburan atau pembengkokan sejarah" leluhur bagi negara yang dijajah. Termasuk juga dari Raffles, yang menulis History of Java, yang kabarnya telah mengambil dokumen dan arsip-arsip penting dari Jawa ke Inggris. Dia kemudian mengolahnya lagi jadi tulisan dengan sudut pandangnya sendiri.”
Jadi, mempelajari sejarah sangatlah penting dalam rangka menyambungkan kembali masyarakat Indonesia zaman sekarang dengan masa lalu, dalam rangka mengumpulkan serpihan kebanggaan nasional yang sudah tercabik-cabik. Paradigma sebagai bangsa yang besar dan kuat perlu dibangun kembali, supaya tidak kecut menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang hingga kini masih menjajah kita lewat ekonomi, budaya, dll.
Bulan Juli 2012, saat saya diundang ikut konferensi internasional Women and Islamic Awakening di Iran, saya datang ke perpustakaan Imam Ridha di kota Mashad, untuk mencari naskah Quran kuno untuk bahan disertasi suami saya yang sedang mendalami filologi di Unpad. Di sana saya bertemu dengan Mr.R, seorang kurator naskah kuno. Aneh sekali, Mr.R tidak mengenal istilah ‘filologi’. Dengan susah payah saya coba jelaskan apa itu filologi (ya iyalah susah, karena itu bukan bidang ilmu saya, dan saya harus menjelaskan dalam bahasa Persia). Setelah diskusi cukup lama, akhirnya ketahuan, pada dasarnya apa yang dilakukan Mr R selama ini pun adalah kerjaannya para filolog: eksaminasi, kodikologi, kritik teks, dll. Bahkan Mr R menunjukkan ke saya enam jilid buku yang masing-masingnya sangat tebal, isinya adalah kodikologi puluhan ribu naskah kuno.
Singkat cerita, Mr R bersedia membantu suami saya untuk mendapatkan naskah Quran kuno. Tiga bulan kemudian, setelah pihak perpustakaan rapat internal dan menyetujui permohonan kami, mereka pun mengirimkan data digital naskah Quran kuno era Imam Ali (dan diduga kuat naskah itu tulisan tangan Imam Ali).
Bulan ini, suami saya berkesempatan datang langsung ke perpustakaan tersebut dan bertemu dengan Mr.R untuk penelitian lanjutan. Dia juga sempat bertemu dengan Rektor Univ. Ferdowsi dan bertanya kepada sang Rektor, “Mengapa jurusan filologi tidak ada universitas ini dan di Iran pada umumnya?”
Jawaban sang rektor menarik sekali, “Kami belum menemukan alasan, mengapa studi filologi diperlukan secara khusus. Di sini tentu ada studi tentang naskah-naskah lama, tapi tidak sampai menjadi satu studi khusus. Itu terjadi karena kalangan akademisi Iran tidak mendapatkan kesulitan berarti ketika berhadapan dengan naskah-naskah lama Iran. Bahasa dan aksara dari naskah yang berusia seribu tahun, misalnya, masih dengan mudah dibaca oleh masyarakat terpelajar zaman sekarang, apapun bidang studi mereka.”
Nah, sekarang, pertanyaannya: mengapa Indonesia perlu filologi? Itu karena naskah-naskah lama Nusantara adalah sesuatu yang betul-betul asing; baik bahasanya ataupun aksaranya. Jangankan seribu tahun, yang seratus tahun sajapun sudah terasa sangat aneh. Tugas filolog adalah menguak isi naskah kuno dalam rangka memahami nilai-nilai yang ada di dalamnya, untuk bisa dimanfaatkan oleh masyarakat zaman sekarang.
Satu poin penting yang bisa ditarik dari cerita ini: masyarakat Indonesia zaman sekarang sangat teralienasi dari masa lalu. Padahal, yang dimaksud kuno dalam konteks Nusantara tidaklah lama-lama amat. Cukup 100 tahun yang lalu sudah dianggap kuno. Tapi berapa banyak dari kita yang mampu membaca naskah berusia 100 tahun? Di Iran, kitab syair berusia 1000 tahun pun masih bisa dibaca anak-anak muda zaman sekarang.
Diduga kuat, keterasingan memang secara sengaja dibuat oleh kolonial demi kepentingan keberlanjutan kolonialisme. Keterasingan ini membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa dengan kadar softpower sangat rendah. Bangsa ini mudah diguncang dan diobok-obok, gampang diotakut-takuti, kebersamaan-nya sangat rapuh, karena tak banyak yang mereka ingat dari masa lalu sebagai sumber kebanggaan.
Nah, ini nyambung dengan statusnya Hendi Jo: “Begitu seringnya bangsa ini dibodohi. Ketika pada 1920-an Prof. C.C Berg dari Leiden membawa naskah Kidung Sundayana (yang menceritakan peristiwa Perang Bubat) hasil editnya ke Jawa, orang-orang Sunda dan Jawa tanpa kritik tanpa selidik langsung mengamini. Maka sejak itu, mulailah cerita konflik Sunda-Jawa diturun-temurunkan dalam nada penuh kebencian. Kita secara tak sadar, masuk perangkap C.C Berg yang tak lain adalah akademisi peliharaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejarah memang tak cukup dibaca saja, tapi harus dianalisa, dipikirkan dan dikritisi.”
Nyambung juga dengan komen dari M Arief Pranoto dan Mas Hendrajit: “Dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, ditemukan tahapan tak kalah penting dalam sebuah peperangan serta dianggap sebagai model berulang dalam kolonialisme, yaitu "pengaburan atau pembengkokan sejarah" leluhur bagi negara yang dijajah. Termasuk juga dari Raffles, yang menulis History of Java, yang kabarnya telah mengambil dokumen dan arsip-arsip penting dari Jawa ke Inggris. Dia kemudian mengolahnya lagi jadi tulisan dengan sudut pandangnya sendiri.”
Jadi, mempelajari sejarah sangatlah penting dalam rangka menyambungkan kembali masyarakat Indonesia zaman sekarang dengan masa lalu, dalam rangka mengumpulkan serpihan kebanggaan nasional yang sudah tercabik-cabik. Paradigma sebagai bangsa yang besar dan kuat perlu dibangun kembali, supaya tidak kecut menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang hingga kini masih menjajah kita lewat ekonomi, budaya, dll.
0 komentar:
Posting Komentar