Halaman

Sabtu, 06 Juli 2013

Papua di Ujung Tanduk


Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Retorika politik apapun yang dibuat Amerika Serikat (AS) dan sekutu dalam panggung politik global jika menyoal Papua, muara TEMA yang akan diangkat bisa dipastikan yaitu hadirnya pasukan asing di Bumi Cendrawasih ---nama lain Papua--- sekaligus jajak pendapat guna memisah Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ingat! Sekali lagi, “tema” yang diyakini adalah kehadiran pasukan asing di tanah air dimana ujungnya referendum. Itu saja.

Sementara keniscayaan SKEMA kolonialisme yang hendak diraih ialah penguasaan minyak, emas, gas alam serta berbagai mineral dan jenis tambang lain. Pertanyaannya sederhana: seandainya Papua penghasil singkong belaka, adakah AS dan sekutunya akan berteriak lantang soal Hak Asasi Manusia (HAM)? Lalu sibuk memperjuangkan penyatuan bangsa Melanesia; atau resah atas rendahnya pendidikan dan kemiskinan sebagaimana keluhan Gubernur Lukas Enembe kepada Maya (Obama) Soetoro di Jogja, dan lainnya.

Sebagai gambaran, hadirnya militer AS dan sekutunya North Atlantic Treaty Organization (NATO) mengeroyok Libya hampir mirip bahkan identik sewaktu Timor Timur lepas dari NKRI dahulu. Modusnya tak berbeda ---- melalui dalih HAM, demokratisasi, dan lainnya, membuat Presiden Habibie nyaris tidak berkutik oleh pressure Australia, AS dan tekanan politik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Itulah tema. Bukankah skema kolonialisasi ternyata minyak di Celah Timor, dan kini tengah digarap oleh (perusahaan) Australia dan Thailand?

Dengan demikian jelas, bahwa stigma semacam pelanggaran HAM, korupsi, kemiskinan, demokratisasi, dan lain-lain hanya ISUE permulaan yang ditabur dalam pola kolonialisme di muka bumi (baca: Mencermati Kesamaan Kharakteristik Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris, di www.theglobal-review.com).

Pada diskusi kecil (1/7/2013) di forum Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit perihal Papua, tercatat pointers menarik. Intinya bahwa “Skema Barat” terhadap Papua ternyata bukan sekedar pencaplokan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan) sebagaimana lazimnya kolonialisme dimanapun. Tampaknya di mata Paman Sam, ia memiliki keunggulan geostrategi dari aspek pertahanan. Experience is the best teacher. Catatan kecil Perang Dunia (PD) II tempo doeloe mengajarkan, Papua dianggap wilayah konsolidasi yang tepat bagi pasukan AS guna menyerang balik Jepang di Lautan Pasifik Selatan. Inilah strategi leap frog atau “lompat katak”-nya Jenderal MacArthur berbasis geostrategi yang akhirnya unggul serta mampu mengalahkan bala tentara Jepang. Agaknya AS tak bisa melupakan (sukses) momentum tersebut.

Pertanyaannya: apakah Bumi Cendrawasih akan kembali menjadi basis pertahanan dan strategi “lompat katak” AS di masa depan? Boleh jadi. Apalagi jika kelak Cina ---saingan terberat--- berani mengganggu kepentingan nasionalnya di Asia Pasifik. Semakin teranglah sudah. Betapa selama ini ia bersikeras mendukung Papua agar independen (merdeka) semata-mata juga karena faktor geostrategi. Sedangkan fakta menarik lainnya, bahwa hingga kini AS belum memiliki pangkalan militer di Bumi Pertiwi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara di sekeliling Indonesia terutama yang tergabung commonwealth. Dan sepertinya, memang tidak ada “bau-bau” atau niatan para elit dan segenap anak bangsa ini sudi memberikan sejengkal tanah pun untuk dipakai oleh militer AS. 

Kegagalan Singapore memaksakan Defense Cooperation Agreement (DCA) kepada Indonesia, intinya meminjam area untuk basis latihan militer. Namun dapat ditebak, selain skemanya nanti ialah pendudukan minyak dan gas di Natuna, niscaya juga akan digunakan sebagai pangkalan militer Barat. Ya, “Barat” dalam hal ini adalah AS dan sekutu. Siapa yang tak paham kelompok negara Barat di belakang Paman Lee? Syukurlah para elit di republik ini tidak bergeming atas rencana "plokoto" Singapore dalam format DCA, sekalipun dijanjikan akan ditukar dengan berbagai kasus korupsi (ekstradisi).

Masih soal hasrat Paman Sam memiliki pangkalan militer di Indonesia, sinyalir Dr Eggi Sudjana SH Msi, Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) mutlak dicermati kendati kebenarannya masih butuh pendalaman. Ia memberi sinyal bahwa bencana yang menimpa Aceh kemarin bukanlah gempa dan gelombang tsunami sesungguhnya. Akan tetapi merupakan gelombang bom termonuklir yang sengaja diledakkan di bawah laut. Eggi berkata: "Melalui pendapat dan analisa pakar nuklir independen asal Australia Joe Vialls, bahwa ada indikasi kuat Amerika dengan dua kapal perangnya satu diantaranya bernama USS Abraham Lincoln, berada di balik tragedi itu". Menurutnya, sebelum terjadi bencana, Amerika mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia. Sementara masuknya kapal induk asing, kenapa diperbolehkan oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, Jakarta tahu benar akan keberadaan kapal asing di perairan kita.

Joe Vialls tahu benar senjata termonuklir yang diledakkan di bawah laut akan menimbulkan gelombang dahsyat. Sementara jika tsunami, ketinggian gelombang maksimal, tidak akan mencapai seperti yang terjadi di Aceh. "Sejarah juga mencatat, selamanya tsunami tidak berdampak membakar korbannya karena air. Namun sempat ditemukan tiga orang anak nelayan Aceh yang terbakar dengan tubuh penuh oli". Disinggung rencana besar apa di balik itu, Eggi mengatakan, AS ingin menjadikan Aceh sebagai pangkalan militernya!

Pertanyaan lagi, bukankah Paman Sam memiliki senjata tektonik --- HAARP---- (High Freaquency Active Aurora Reseacrh Program) sebagaimana isyarat Hugo Chaves atas “bencana” yang menimpa Haiti dekade 2010-an yang lalu? Gempa di Chile juga digunjingkan oleh banyak media kritis terhadap AS, bahwa gempa dimaksud akibat dari teknologi HAARP. Chile punya cadangan minyak sangat besar, karena itulah gempa dibuat di kawasan tersebut sehingga tentara AS berkedok misi kemanusiaan membantu korban bencana ---seperti di Haiti----  bebas memasuki kedaulatan negara lain, lalu menduduki teritori serta berujung kapling-kapling potensi dan cadangan minyak.

Keluar dari topik Papua, membahas sejenak perihal HAARP. Ya. Penciptaan senjata mengerikan ini memang telah diprediksi oleh banyak orang. Seorang ilmuwan dunia, Dr Rosalie Bartell telah mengkonfirmasi bahwa militer Amerika sedang mengerjakan sebuah sistem pengatur cuaca sebagai senjata potensial. Metodenya termasuk mengendalikan badai dan mengatur arah penguapan air di atmosfer bumi untuk menghasilkan banjir di tempat tertentu.

Bukan hanya Dr Bartell yang mengatakan hal ini, mantan penasehat keamanan gedung putih Zbigniew Brzezinski juga meramalkan dalam bukunya “Between Two Ages”. Ia menulis: “Tekonologi akan menyediakan teknik untuk melakukan peperangan rahasia yang hanya membutuhkan sedikit pasukan, seperti teknik memodifikasi cuaca yang dapat menimbulkan badai yang berkepanjangan”. Itulah sekilas tentang seluk beluk HAARP dan sinyalemen penggunaan oleh sang empunya.

Kembali ke topik bahasan. Dalam diskusi di GFI tahun lalu (18/6/12) tercatat pointer, bahwa pemisahan Papua sudah berjalan sistematis, selain kuat bercokol PT Freeport, di pedalaman lainnya ternyata banyak bahan tambang yang dibutuhkan sejumlah industri. Potensi besar Papua mendukung riset-riset bio teknologi sesuai ramalan James Canton di buku The Extreme Future. Merujuk isyarat Canton dimana salah satu daripada 10 kecenderungan masa depan extreme, bahwa intinya AS dan sekutu mulai menyadari peperangan kedepan tak lagi konvensional seperti lomba teknologi tempur, kecanggihan senjata, dll akan tetapi pola berubah menjadi “perang sumberdaya alam (SDA) non minyak”. Misalnya perang pangan, air, perubahan iklim dan lain-lain. Oleh karena itu mapping peperangan kini dan kedepan bukan lagi antara AS versus Rusia, atau Paman Sam melawan Iran, Syria dan lain-lain, tetapi yang berhadapan kelak yaitu AS versus Cina dan India, dimana Jepang serta Korea ikut terlibat di dalamnya.

Wajar bila dekade terakhir ini, AS rajin memprovokasi para negara proxy-nya di sekeliling Laut Cina Selatan via isue “sengketa perbatasan”. Tampaknya ia bermaksud melumpuhkan dulu "lawan-lawan"-nya melalui taktik divide et impera di Laut Cina Selatan sebelum papan catur ---perang SDA--- dihamparkan. Gelagatnya bisa dirasakan, Uncle Sam seperti hendak membenturkan Cina dengan kelompok negara kompetitor lain sebelum era peperangan SDA benar-benar tergelar.  

Kembali ke perang masa depan, merujuk pengalaman PD II, agaknya Papua dinilai strategis untuk batu loncatan menghadang produk-produk Cina, India, Korea dan Jepang yang menguasai pasar Indonesia dan ASEAN. Ya, masa depan dunia katanya ada di Asia, terutama Asia Pasifik. Lebih spesifik adalah Asia Tenggara, lebih menukik lagi yaitu Indonesia. Inilah negeri tetesan dari surga yang bocor!

Dan sepertinya, mapping di atas selaras dengan ‘mimpi’ Bung Karno (BK), artinya kenapa ia dahulu tak berhenti menggempur Belanda di Irian Barat, semata-mata karena BK memahami jika Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer asing terbesar di Asia Pasifik. Ini bakal mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Papua merupakan geopolitic leverage bagi Indonesia. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di barat, Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia. Sayang BK mangkat sebelum mimpi-mimpinya menjadi nyata!

Dari telaah geopolitik, sisi lain penempatan militer Paman Sam di Darwin serta internasionalisasi Papua yang digebyarkan banyak media, boleh diasumsikan sebagai tahapan dalam rangka menuju Papua sebagai salah satu Negara Bagian AS dikemudian hari. Tak bisa tidak. Termasuk brainstroming atas “mental impor” para elit dan segelintir pejabat di republik ini disinyalir juga merupakan bagian skenario perang masa depan ---perang SDA--- di Bumi Pertiwi. Apa boleh buat, Indonesia hari ini dan esok ---apabila tidak ada kebangkitan sama sekali--- hanya merupakan proxy war (medan tempur) daripada peperangan SDA antara AS dan sekutu versus Cina, Jepang, India dan koalisinya.

Waspada Papua! Waspada Papua!


Referensi dan Link:

 

0 komentar:

Posting Komentar