Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute | |
Pergilah
ke Mesir, dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk
menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika (George
Rich, Economic Hitman, mentornya John Perkins).
| |
Pagi
ini kita sebagai bangsa dan rakyat Indonesia mendapat pelajaran dan
hikmah yang amat berharga. Seperti sudah saya duga sebelumnya, Morsi dan
Ihwanul Muslimin Mesir, ibarat pasir yang setiap saat bisa lenyap
ditiup angin.
Karena itu kita tak usah heran apalagi takjub, ketika hari ini mendengar Presien Morsi lengser dari kursi kekuasaan. Bukan karena tenaga rakyat yang merobohkan, karena dari awal nasib politik Morsi dan Ihwanul Muslimin berada di tangan Dewan Jenderal, atas restu dari Washington.
Sejak
lengsernya Husni Mobarak, sistem politik Mesir sejatinya berada di
tangan Dewan Jenderal angkatan bersenjata, meski disamarkan melalui
Gelombang Demonstrasi Besar besaran warga Mesir.
Indikasi
kuat betapa militer Mesir sepenuhnya pegang kendali terlihat ketika
kemudian mendorong tampilnya Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Adli
Mansour, pakar hukum yang notaben berbasis sebagai teknokrat ketimbang
politisi partai, sebagai penguasa sementara Mesir pasca kejatuhan
Presiden Morsi.
Rekam
jejak Adli Mansour yang lahir pada 23 Desember 1945 ini, tak pelak lagi
merupakan profil seorang teknokrat hukum. Begitu lulus dari Fakultas
Hukum Universitas Kairo pada 1967, Mansour kemudian meneruskan program
S-2nya di bidang yang sama.
Kenyataan
bahwa sejak 1970 bergabung pada pengadilan administrasi Mesir dan
tetap berdinas di sini hingga menjadi Wakil Ketua Pengadilan pada 1992,
membuktikan bahwa sosok seorang Adli Mansour yang saat ini merupakan
Ketua Mahkamah Konstitusi, sejatinya adalah sosok yang punya naluri
untuk secara struktural tunduk pada kekuatan-kekuatan politik yang
secara de fakto memegang kendali politik di Mesir. Dalam hal ini,
pemegang kekuasaan sesungguhnya di Mesir adalah Dewan Jenderal angkatan
bersenjata. Dengan kata lain, Adli Mansour hanya “presiden boneka”
militer.
Bukti Nyata Ihwanul Muslimin Tak Punya Akar Dukungan Politik
Perkembangan
terkini di Mesir pasca kejatuhan Morsi, menarik untuk dicermati.
Kenyataan bahwa 300 kader-kader Ihwanul Muslimin baik pimpinan maupun
anggota ditangkap oleh polisi Mesir, begitu juga dengan ditahannya Saad
al Katatni, Ketua Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan yang merupakan
sayap politik Ihwanul Muslimin, merupakan bukti nyata bahwa Ihwanul
Muslimin tidak mempunyai akar politik yang kuat di Mesir.
Skenario
Arab Spring untuk menggusur Mobarak pada 6 April 2011, sejatinya
merupakan aliansi strategis Dewan Jenderal angkatan bersenjata dan
Ihwanul Muslimin, sedangkan Aksi Massa yang memotori kejatuhan Hosni
Mobarak, sesungguhnya hanya kekuatan katalisastor untuk percepatan
terjadinya Pergantian kekuasaan.
Gerakan
demonstrasi massa yang terorganisir dengan tujuan pokok menjatuhkan
Mobarak, sebenarnya sudah dipersiapkan Amerika sejak 2008. Pada 2008,
beberapa aktivis gerakan dari Mesir berkumpul di New York, untuk
meresmikan berdirinya Alliance of Youth Movement (AYM). Rupanya
inilah kendaraan bagi Amerika untuk memobilisasi gerakan masyarakat
sipil di Mesir, kelak ketika situasi dirasa cukup matang untuk menggelar
gelombang demo pelengseran Mubarak.
Melalui
AYM inilah, beberapa elemen strategis di Washington mulai memberi
pelatihan pada para aktivis dan motor penggerak aliansi ini, sekaligus
juga membantu perluasan jaringannya secara internasional.
Bayangkan,
melalui AYM ini pula para aktivis dan penggeraknya diberi akses
langsung untuk menjalin koordinasi dengan Departemen Luar Negeri AS.
Khususnya dengan James Glassman, Pembantu Menlu AS bidang Publik
Diplomasi dan Public Affairs. Bahkan juga dengan Jared Cohen, staf
perencanaan kebijakan Deplu AS ketika itu.
Beberapa
organ mata-rantai jaringan di Washington yang mendapat bantuan
pelatihan dan dana tersebut antara lain Alliance of Youth Movement dari
Mesir, The Bahrain Center for Human Right, dan para aktivis
kepemudaanYaman yang tergabung dalam Entsar Qadhi.
Begitulah.
Dari penelusuran data-data yang dilakukan tim riset Global Future
Institute, penggulingan Mobarak yang merupakan bagian integral dari The Arab Spring,
yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah, ternyata mendapat bantuan
pelatihan dan dana dari International Republican Institute/IRI (organ
sayap partai Republik AS) dan National Democratic Institute/NDI (yang
merupakan organ partai Demokrat AS).
IRI
dan NDI sejatinya merupakan organ yang terikat dalam hubungan yang
bersifat longgar dengan dua partai besar Amerika Partai Demokrat dan
Partai Republik, yang dari segi kepentingan strategis luar negeri
sejatinya sama saja sasaran strategisnya. Yaitu menguasai secara
geopolitik semua sumberdaya dan kekayaan alam di kawasan Timur Tengah,
Afrika, Amerika Latin dan Asia. Kedua partai cuma beda metode dan modus
operasinya saja.
Baik
IRI maupun NDI dibentuk oleh Kongres Amerika(DPR) dan dibiayai secara
rutin oleh National Endowment for Democracy (NED). Adapun NED itu
sendiri dibentuk pada 1983 dengan tujuan sebagai penyalur pemberian gran
dalam rangka mempromosikan demokrasi di negara-negara berkembang.
Mata-rantai
keterlibatan Amerika dan jaringan internasional dalam menggsur Mobarak
sekaligus memunculkan aliansi stratregis Militer Mesir dan Ihwanul
Muslimin, memang cukup beralasan. pada 6 April 2010, para aktivis AYM
berangkat ke Serbia, untuk dapat pelatihan dari sebuah lembaga yang
didanai oleh Amerika bernama CANVAS, yang ternyata dulunya bernama
OTPOR. OTPOR ini tercatat pernah memainkan peran membantu penggulingan
Presiden Serbia Slobodan Milosovic pada 2000.
Dan OTPOR ini ditengarai mendapat bantuan dana jutaan dolar Amerika dari Amerika. Yang tentunya sumbernya dari beberapa korporasi sektor strategis di Washington. Nah, CANVAS inilah yang rupanya ditugasi untuk membantu operasi politik penggulingan beberapa presiden seperti di Tunisia, Mesir, lain lain. Mereka yang dilatih dengan bantuan dari CANVAS ini tidak saja dari Mesir melainkan juga dari Syiria, Tunisia, dan Lebanon.
Setelah
selesai pelatihan, mereka kembali ke Mesir, dan menjalin aliansi
strategis dengan Mohammed ElBaradei, Ketua Badan Atom dan Energi
Internasional(IAEA). Karena selentingan kabar waktu itu, ElBaradei
berniat ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Yang kemudian membentuk
National Front for Change. Melalui ElBaradei inilah, kemudian bergulir
untuk pertama kali The Arab Spring.
Adanya
rencana sistematis bantuan asing terhadap pengguligan semakin menguat
dengan dilansirnya beberapa berita dari kantor berita Perancis AFP bahwa
Deplu AS sendiri mengaku bahwa mereka telah mengalokasikan anggaran 50
juta dolar AS dalam dua tahun terakhir untuk membantu para aktivis
masyarakat sipil Mesir untuk pengembangan teknologi-teknologi baru agar
mereka terhindar dari hukuman dan penahanan para aparat keamanan Mesir.
Singkat cerita, mereka inilah sumbu penyulut dari yang kemudian terkenal dengan The Arab Spring.
Nilai Strategis Geopolitik Mesir
Mesir
memang sangat strategis baik dari segi geo-ekonomi maupun geopolitik.
John Perkins, ketika sedang dibina sebagai penjahat ekonomi(economic
hitman) sempat dikuliahi oleh seorang mantan Economic Hitman bernama
George Rich.
Menurut
George Rich, yang ketika membagi ilmunya kepada Perkin sudah berusia 84
tahun itu, menuturkan bahwa Mesir selain punya posisi strategis untuk
memainkan peran penting di dunia arab, tapi juga punya dampak strategis
di kawasan Afrika.
“Negeri
ini merupakan jembatan baik dari sudut pandang geografi, sosial,
ekonomi, dan etnik. Dan tentu saja agama. Pergilah ke Mesir, dan gunakan
negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan
juga daerah transit untuk Afrika,” begitu petuah George Rich kepada
kader mudanya John Perkins.
Bahkan
ketika mengkader Perkins, George Rich sempat bernubuat yang kalau kita
baca dalam konteks perkembangan global yang terjadi di Timur Tengah saat
ini, ungkapan George Rich seakan baru kemarin terjadi.
“Kau
akan segera berangkat ke Mesir, lalu ke Kuwait, Irak, dan Arab Saudi,”
begitu kata Rich yang bernada instruktif sekaligus insinuative, betapa
ketiga negara yang disebutnya tadi memang merupakan mata-rantai dari
pengaruh Amerika Serikat dan Inggris di kawasan Timur Tengah, dengan
Mesir yang dia istilahkan sebagai jembatan sekaligus daerah transit
untuk menguasai Timur Tengah dan Afrika.
Bisa dibayangkan betapa vitalnya Mesir bagi Washington dan sekutu-sekutu baratnya dari Uni Eropa.
Apa yang bisa dipetik sebagai pelajaran bagi Indonesia? Bahwa skema Arab Spring yang
melanda Afrika Utara dan Mesir ternyata bukan untuk mendorong akar-akar
dukungan masyarakat yang sesungguhnya agar menjelma sebagai formasi
politik di Mesir, melainkan sekedar untuk menggulingkan kekuasaan
Mobarak.
Karena itu eforia people power ala
Mesri jangan sampai terjadi di Indonesia. Pergantian kekuasaan tanpa
skema revolusi, ternyata hanya menawarkan pergolakan dan pertumpahan
darah tanpa niat mengubah susunan masyarakat maupun formasi kekuasaan.
|
0 komentar:
Posting Komentar