ANALISA PRASASTI LAGUNA
PENDAHULUAN
Penulis
yakin judul artikel ini bisa jadi menimbulkan kekagetan luar biasa, ya kalau
gak kaget luar biasa, cukup dengan istilah kaget saja (jangan terlalu
muluk-muluk hehehe). Judul ini berawal dari rasa ingin tahu penulis dari
informasi prasasti yang terdapat di Philipina, yang ditemukan pada tahun 1989
Masehi. Prasasti ini dalam bahasa Inggris disebut The Laguna Copperplate Inscription (disingkat LCI). Penulis
memberikan perhatian besar terhadap prasasti ini karena disebutkan sebelumnya
bahwa ditemukannya terbilang baru, masih anget-anget jahe, terhitung 24 tahun
yang lalu dari sekarang, 2013 Masehi.
Dengan
prasasti ini pula penulis memberanikan diri dengan menyebut bahwa Kerajaan Medang
(Mataram Kuno - Hindu) adalah kerajaan penakluk nusantara jilid II, tahap
kedua, setelah Kerajaan Sriwijaya, tahap pertama, jilid I dan kemudian menyusul
si bontot Kerajaan Majapahit, tahap ketiga, Jilid III (semuanya pakai jilid
supaya adil hehehe).
Prasasti
Laguna ini adalah dokumen sejarah tertulis yang dikenal paling awal ditemukan
di Philipina. Berupa lempengan plat tembaga tipis berukuran kurang dari 20 × 30
cm (8 × 12 inci) dengan bentuk tulisan timbul, ditemukan oleh seorang buruh
pasir dekat muara Sungai Lumbang di Barangay Wawa, Lumban, Laguna, tentunya
pasti di Philipina, soalnya sudah disebutkan sebelumnya.
Prasasti
tersebut pertama kali dilakukan penelitian oleh seorang antropolog Belanda,
Antoon Postma. Penemuan ini sangat penting sebagai bukti hubungan budaya antara
Pra-Hispanik orang Tagalog dengan berbagai peradaban kontemporer Asia, terutama
orang Jawa (Kerajaan Medang), Kekaisaran Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan di
India Tengah (dilihat dari bahasa, lebih lanjut masalah perkiraan agama yang
berkembang, pra-Spayol dan Islam).
Tertulis
diatasnya, permulaan teks yaitu era tahun Saka 822, atau setara dengan 900
Masehi pada bulan Waisaka, hari keempat bulan memudar, dan ini dalam
penangalan modern tepat jatuh pada hari Senin, 21 April 900 Masehi, dalam
kalender Gregorian tentunya.
Sistem
penulisan yang digunakan adalah Script Kawi – Jawa Kuno, sementara dilihat dari
bahasa yang digunakan adalah campuran berbagai bahasa yaitu terdiri dari bahasa
Melayu Kuno, berisi kata-kata pinjaman dari bahasa Sansekerta dan berbagai
elemen kosakata beberapa bahasa non-Melayu yang berasal diantaranya bahasa
Tagalog Lama dan Jawa Kuno. Selengkapnya tentang berita prasasti Laguna ini
akan dibahas kemudian dibagian artikel lebih lanjut.
LATAR BELAKANG
Tentu
pengetahuan tentang sejarah nusantara akan membeberkan secara gamblang tentang
silsilah raja-raja pada masa abad ke-7, ke-8, ke-9 dan ke-10, baik itu
raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya, Medang dan kerajaan-kerajaan lain diluar
pulau Sumatera dan Jawa, bahkan manca nagara (lingkup Asia tenggara khususnya).
Tapi
bagi siapapun, maksud penulis pembaca yang budiman, acungkan tangan! (kok
acungkan tangan, kaya di kelas aja hehehe) kalau ada yang bisa menjawab
pertanyaan penulis, “Siapa Raja Sriwijaya pada kisaran tahun 861–960 Masehi?
Hayooo, kalau ada yang bisa jawab, pembacaan artikel ini jangan dilanjutkan,
hentikan segera, percuma, tapi kalau tidak bisa menjawab, ya harus dengan rela
hati untuk melanjutkan membaca artikel ini, mudah-mudahan nambah wawasan, ada
manfaatnya...aminnn! Penulis kasih bocoran, liat bagan dibawah!kalau gak
keliatan ya pakai kacamata, kalau gak keliatan juga? Harap tenang ada petunjuk
selanjutnya.
Satu
lagi pertanyaan penulis, “siapakah Raja Khmer atau setidaknya raja diwilayah
Kamboja dan Vietnam pada awal abad ke-9 tepatnya mulai 900-1000 Masehi?“, kalau
ada yang bisa jawab, walaupun pertanyaan pertama diatas tidak bisa jawab,
silakan boleh-boleh saja pembaca mulai meragukan artikel ini.
Begini.
Penulis juga tidak bisa menjawab kedua pertanyaan diatas, karena tidak ada
datanya, atau mungkin belum dapat datanya. Silakan cek di Wikipedia Online,
hasilnya bagan diatas, tentang silsilah raja-raja Kerajaan Sriwijaya, nama
raja-raja itu akan terhenti ketika tahun 860–960 Masehi, dengan raja terakhir
Balaputradewa 860 Masehi, menurut keterangan prasasti Nalanda, dan kemudian
dilanjut lagi oleh Sri Udayaditya Warmadewa atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan,
menurut berita utusan Tiongkok pada tahun 960 dan 962 Masehi.
Kerajaan
Khmer, juga demikian, raja terakhir mulai tahun 889 Masehi, yaitu Yasovarman I,
dia mulai membangun Angkor, yang kemudian berganti nama menjadi Yasodharapura.
Raja Yasovarman I ini memerintah sampai tahun 900 Masehi. Akhir tahun ini dan
selanjutnya, catatan siapa rajanya tidak diketemukan, hilang dan baru ditemukan
lagi seorang Raja pada tahun 1002 Masehi, yaitu Suryavarman I yang merebut
tahta kerajaan, merebutnya dari siapa? Tidak diketahui. Di bawah
pemerintahannya, Suryavarman I, wilayah kerajaan Angkor bertambah luas sampai
ke wilayah-wilayah yang yang dikenal sekarang dan tidak asing lagi yaitu negara
Thailand dan Laos. Perhatikan! angka tahun 900 Masehi, itu sama dengan
pembuatan prasasti Laguna di Philipina. right!
Berdasarkan
hilangnya catatan sejarah inilah, yang melatarbelakangi penulis mengajukan
wacana tentang Kerajaan Medang sebagai Penakluk Wilayah Nusantara Jilid II,
padahal dari catatan para sejarah tempo dulu, catatan sekarang juga masih sama,
wilayah Kerajaan Medang hanyalah tatar Jawa, Madura dan Bali. Tiga wilayah itu
sendiri masih menyisakan pertanyaan, Nusa Tenggara Barat dan Timur atau
Timor-timor bagai mana? Mungkin sejatinya kalau Timor-timor pada jaman dahulu
kala masih termasuk katagori gugusan pulau Nusa Tenggara, bisa jadi seperti
itu. Atau mungkin gugusan Nusa Tenggara juga masih termasuk, secara global ke
wilayah Bali, bisa ya bisa tidak, soalnya semuanya pake kata mungkin hehehe.
Tidak
semata-mata penulis mengajukan analisa Prasasti Laguna kalau tidak ada hubungan
dengan Kerajaan Medang dan tidak semata-mata pula penulis menanyakan tentang
Kerajaan Khmer kalau juga tidak ada hubungannya dengan Kerajaan Medang.
BAHAN MATERI ANALISA
Yup,
betul! tebakan pembaca bahwa memang benar bahan materi yang diajukan dalam
artikel ini pastinya adalah prasasti Laguna. Prolog mengenai prasasti ini
sudah diajukan diatas. Teks prasasti Laguna ini memberitakan sebagai berikut,
teks asli yang sudah dilatinkan, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia:
Dalam teks aslinya sebagai berikut:
“Swasti. Ṣaka warṣatita 822 Waisakha masa
di(ng) Jyotiṣa.
Caturthi Kriṣnapaksa Somawāra sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sānak barngaran si Bukah
anak da dang Hwan Namwaran di bari waradāna wi shuddhapattra ulih sang pamegat senāpati di Tundun barja(di)
dang Hwan Nāyaka tuhan Pailah Jayadewa.
Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu
di parlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka
tuhan Puliran Kasumuran.
dang Hwan Nayaka tuhan
Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhan Binwangan barjadi bishruta
tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat
Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat.
Ya makanya sadanya anak
cucu dang Hwan Namwaran shuddha ya kapawaris dihutang da dang Hwan Namwaran di
sang pamegat Dewata.
Ini gerang syat syapanta
ha pashkat ding ari kamudyan ada gerang urang barujara welung lappas hutang da
dang Hwa...”
Terjemahan dalam bahasa Inggris, sebagai berikut:
“Long Live! Year of Syaka 822, month of Vaisakha, according
to Jyotisha (Hindu astronomy).
The fourth day of the waning moon, Monday. On this occasion,
Lady Angkatan, and her brother whose name is Bukah, the children of the
Honourable Namwaran, were awarded a document of complete pardon from the
Commander-in-Chief of Tundun, represented by the Lord Minister of Pailah,
Jayadewa.
By this order, through the scribe, the Honourable Namwaran
hath been forgiven of all and is released of his debts and arrears of 1 Katî
and 8 Suwarna, before the Honourable Lord Minister of Puliran Kasumuran, by the
authority of the Lord Minister of Pailah.
For his faithful service as subject of the Chief, the
Honourable and widely-renowned Lord Minister of Binwangan hath recognised all
the living relations of Namwaran who were claimed by the Chief of Dewata,
represented by the Chief of Medang.
Yea, therefore, the living descendants of the Honourable
Namwaran are forgiven, verily, of any and all debts of the Honourable Namwaran
to the Chief of Dewata.
This, in any case, shall declare to whomever henceforth,
that on some future day, should there be a man who claimeth that no release
from debt of the Honourable...”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesianya sebagai berikut:
“Swasti. Tahun Saka 822, bulan
Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin.
Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si
Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan
penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang), diwakili oleh
Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa.
Atas perintahnya, secara
tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari
hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan
Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah.
Oleh karena kesetiaannya
dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan
mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang
Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.
Ya, oleh sebab itu
seluruh anak cucu Sang Tuan Namwaran sudah dimaafkan dari segala hutang Sang
Tuan Namwaran kepada Sang penguasa Dewata.
(Pernyataan) ini, dengan
demikian, menjelaskan kepada siapa pun setelahnya, bahwa jika di masa depan ada
orang yang mengatakan belum bebas hutangnya Sang Tuan ...”
Pada tahun
1990, Antoon Postma, ahli Belanda masalah script kuno, yang sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Mangyans, Filipina dan juga sebagai direktur Mangyan
& Research Center di Panaytayan, Mansalay, Oriental Mindoro, dia berhasil
menerjemahkan dokumen yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Laguna (LCI).
Ketika ia melihat prasasti tersebut, hasil pengamatan sebagai seorang ahli bisa
merasakan bahwa penulisan script itu hampir mirip dengan script bahasa Jawa
kuno yang disebut Kawi, dan penanggalan dokumen tersebut sesuai dengan kalender
Saka, ia mendapat bantuan dari sesama ahli Belanda, Dr Johan de Casparis, yang
ahli dibidang bahasa Jawa kuno – Kawi juga.
Casparis,
dipanggil begitu namanya, menegaskan bahwa script dan kata-kata yang digunakan
dalam dokumen prasasti Laguna persis sama dengan script atau kata-kata yang
digunakan dalam prasasti-prasasti di pulau Jawa pada penandaan waktu yang
tercantum dalam dokumen tersebut, dengan pembacaan tahun saka 822, atau setara
dengan 900 tahun Masehi (Common Era, CE).
Selanjutnya
pada kisaran tahun 1996, pemerhati sejarah Philipina dari California, Hector
Santos, menghitung penanggalan Saka yang dikonversi dengan menggunakan software
astronomi, dia menyatakan tegas bahwa penanggalan tahun Saka yang tertulis
dalam prasasti menunjukan tepat hari Senin, 21 April 900 M. Lihat nama Santos,
apa ada hubungannya denga Prof. Arsyio Santos ya, pengarang buku Atlantis? atau
marga Santos ditakdirkan demen bener dalam penelitian sejarah? halah...gak
terlalu penting hehehe.
Terlepas
dari kemiripan dengan dokumen prasasti-prasasti di Jawa, pelat tembaga tipis
itu memiliki beberapa kekhususan yang menyebabkan para ahli dipaksa untuk
mempercayai dan yakin untuk mengambil kesimpulan bahwa dokumen prasasti itu
bukanlah dari Pulau Jawa.
Pertama,
Prasasti Laguna tidak menyebutkan raja Jawa, Medang, pada waktu itu, Raja Dyah
Balitung. Soalnya terdapat kebiasaan dan etika pada waktu itu untuk selalu
menyebutkan nama raja yang berkuasa dalam setiap dokumen resmi. Biasanya prasasti
adalah jenis dokumen resmi pada masa itu, karena tidak sembarangan orang
membuatnya.
Kedua,
bahasa yang digunakan dalam dokumen itu tidak hanya Sanskerta. Ini adalah
campuran dari bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, Melayu Lama dan Tagalog Lama.
Ketiga,
metode penulisan berbeda. Pada waktu itu di Jawa karakter tulisan terkesan
dengan memanaskan tembaga tehnik melebur dan mencetak logam, tetapi karakter
pada pelat tembaga tipis pada prasasti Laguna tampaknya dibuat dengan cara
dipalu dengan menggunakan tembaga dingin, bukan dengan tehnik dilebur dan
dicetak.
Dalam
pemeriksaan isi materi tulisan, Antoon Postma meyatakan bahwa prasasti itu
merupakan pengampunan dari Kepala Daerah Tondo untuk menghapus utang seorang
pria bernama Namwaran. Utangnya adalah salah satu kati dan delapan Suwarna,
atau sekitar 926,4 gram emas. Coba pembaca hitung dalam rupiah untuk harga emas
tahun sekarang, 2012, teramat besarkan? Hadoooh lumayan juga tuh kalau punya
emas segitu.
Dokumen
tersebut huga (kok huga, juga kaleee?) disebutkan beberapa kota yang masih ada
sekarang: Tundun, yang sekarang Tondo kalau dalam sebutan bahasa Jawa, tiga
kota lainya di Bulakan; Pailah atau Paila, Puliran atau Pulilan, dan Binwangan
atau Binangan. Sebuah kota di Agusan del Norte di Mindanao disebut Dewata atau
Diwata juga muncul dalam teks. Diwata juga dekat dengan Butuan, yang telah
diteliti banyak sumber artefak kuno ditemukan disana.
Tulisan
diatas hanyalah sebagai wawasan, tapi juga bisa dipergunakan bahan untuk
memastikan keabsyahan dari prasasti tersebut, padahal inti analisa yang mau
diajukan penulis adalah mengenai petikan dari isi prasasti tersebut, yang sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
“Oleh karena
kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari
Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim
oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.”
Terlihat
jelas dan tidak bisa dipungkiri, dikalimat teks tersebut terungkap “Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh
Sang Penguasa Medang”, dan kerajaan Medang tiada lain adalah kerajaan yang
berada di tatar Jawa pada abad kisaran ke-7 sampai ke-10 Masehi. Kalau
disetarakan bahwa benar dugaan sementara dari Antoon Postma dan kawan-kawan
yaitu mengenai raja Medang pada saat itu yang bergelar Sri Maharaja Rakai
Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu. Gelar maharaja bukan
sembarangan gelar, selain menguasai daerah reguler atau dengan sendirinya
tataran Jawa, Madura dan Bali, biasanya gelar kemaharajaan cakupanya jauh lebih
luas, ini pula gelar yang dipakai oleh raja-raja sebelumnya yang menguasai
nusantara seperti halnya Sriwijaya dan selanjutnya seperti raja Kertanegara
(singosari) dan Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk). Maharaja bisa diartikan sebagai
raja diraja, raja yang menjadi raja dari sekian jumlah raja-raja (menunjukan
banyak raja) yang lain, halahhh kata "raja" banyak bener, hati-hati
bacanya...untung grup musik Raja gak ikut-ikutan hehehe.
Dengan
pernyataan “yang telah diklaim oleh Sang
Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang”, artinya “Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur
dari Binwangan” atau “Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang),
diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa” telah
tunduk dan mengakui kekuasaan raja Medang (Mataram Kuno - Hindu), ini informasi
penting dari si pembuat prasasti. Dewata disana tidak relevan dengan nama
tempat diwata, karena menunjukan asal mula raja besar Medang, karena tidak ada
data lain yang menunjukan adanya kerajaan bernama Dewata didaerah tersebut.
Setidaknya ini adalah awal dari sebuah hipotesa sejarah menurut penulis, yang
memerlukan kajian lebih lanjut.
ANALISA BAHAN MATERI II
Diawal sudah
dipertanyakan mengenai hilangnya catatan sejarah mengenai raja-raja Sriwijaya
kisaran tahun 860-960 Masehi, ini menandakan adanya indikasi telah terjadi
peralihan kekuasaan dan mungkin bisa jadi terjadinya penaklukan besar-besaran
dari kerajaan Medang terhadap Sriwijaya, setelah penaklukan bisa jadi ada
kebijakan dari raja Kerajaan Medang untuk mempeti-eskan raja Sriwijaya dan
diangkat perwakilan Kerajaan Medang dikerajaan tersebut. Masa penaklukan Medang
atas Sriwijaya ini berlangsung selama kurun waktu 100 tahun, itu yang pertama.
Tolong perhatikan angka jumlah tahun yaitu 100, itu menunjukan waktu yang
sangat lama untuk sebuah dinasti berkuasa (kerangka berpikirnya seperti
itulah). Bandingkan dengan Dinasti Rajasa, cikal bakal Majapahit atau masa jaya
Majapahit sendiri, berapa lama? dan bandingkan pula dengan kekaisaran Mongol,
Genghis Khan yang hanya bertahan sekitar 150 tahun.
Kedua,
terhentinya informasi sejarah mengenai kelanjutan raja-raja di Kerajaan Khmer,
yang menguasai wilayah Kamboja dan Vietnam, dengan raja terakhir Yasovarman I
yang masa kekuasaannya berakhir sampai tahun 900 Masehi dan muncul lagi tahun
1002 Masehi, dengan kurun waktu 102 tahun lamanya, ini bisa menandakan telah
terjadi ekspansi kekuasaan dari Kerajaan Medang sedang berlangsung, dugaannya
seperti itu, terbukti dengan adanya prasasti Laguna di Philipina yang tercatat
900 M, persis sama dengan berakhirnya kekuasaan Yasovarman I, artinya Kerajaan
Medang bermaksud menganeksasi bekas wilayah Kerajaan Sriwijaya sebelumnya, dan
ini berhasil, soalnya untuk menaklukan Philipina, harus terlebih dahulu
menaklukan kerajaan Khmer. Dalam berita Arab (catatan saudagar orang Arab, Ibn Khurdadhbih,
dengan Kitab al-masalik w'al-mamalik), Sriwijaya menguasai juga daerah-daerah
Indonesia bagian timur, kerajaan-kerajaan di pulau Maluku, dan sekitarnya,
termasuk Sulawesi juga pastinya.
Di wilayah
Kamboja dan Vietnam sendiri kerajaan besar yang ada adalah Khmer, kerajaan
kerajaan selanjutnya yang berdiri sendiri seperti Champa, Syanka dan Annam, itu
baru muncul (diperhitungkan sebagai kerajaan besar) keberadaanya kisaran abad
ke-11 sampai pada masa kekuasaan Majapahit, dan berabad-abad lamanya wilayah
Kamboja dan Vietnam ini berada dalam kekuasaan kerajaan dari Jawa, Zabaj (istilah
menunjuk Sumatera dan Jawa pemakaian nama kerajaan Zabaj, istilah dari Ibn Khurdadhbih, atau
Dinasti Sailendra istilah kita), pada masa Sriwijaya di Sumatera digabung dengan kerajaan di
jawa, keduanya dibawah kekuasaan Dinasti Syailendra.
Terakhir
mereka, bangsa Khmer memerdekakan diri pada tahun 802 Masehi, Pangeran Khmer
Jayavarman II, yang dilahirkan dan dibesarkan di istana kerajaan Jawa pada masa
Dinasti Sailendra, menyatakan bahwa wilayah yang didiami oleh bangsa Khmer,
lepas dari Jawa. Dan kemudian mendirikan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Angkor.
Karena melihat Sriwijaya sudah mulai melemah, dan ini indikasi bahwa mulai ada
perubahan kekuasaan ke pada pihak lain.
Pangeran
Javawarman II dinobatkan sebagai Devaraja (tuhan raja) oleh seorang pendeta
Brahmana. Pada tahun-tahun berikutnya, Jayavarman II berkali-kali memindahkan
ibu kotanya. Pertama-tama di Indrapura (sebelah timur Kampong Cham), kemudian
ke Wat Phou (sekarang Laos ujung selatan) dan terakhir di Rolous (dekat
Angkor). Pada tahun 889 Masehi, seperti disebutkan sebelumnya, Yasovarman I
menjadi raja Khmer, gelar yang berbeda. Dia mulai membangun Angkor, yang
kemudian berganti nama menjadi Yasodharapura. Raja Yasovarman I memerintah
sampai tahun 900 Masehi. Kok angka Romawi I, mana yang Romawi II? inilah yang
penulis bingung menjawabnya, soalnya tidak ada data, jujur, belum ketemu,
tahu-tahu muncul muncul tahun 1002 Masehi dengan nama Raja Suryavarman I,
hadooh lagi-lagi Romawi, hehehe, seneng bener orang Kamboja bikin nama pake
bilangan Romawi.
Ada cerita,
di sebagian wilayah Vietnam dan Kamboja, cara orang tua menakut-nakuti anak yg
nakal adalah: "jangan nakal atau manusia Jawa akan menculik dan
memakanmu". Penyebabnya adalah di sekitar tahun 790 Masehi, Kerajaan
Mataram Kuno yang berada dibawah kekuasaan Dinasti raja-raja Syailendra tercatat pernah menginvasi sebagian
wilayah Vietnam dan Kamboja, dan menurut berita arab yang disampaikan Abu Zaid
916 M, bahwa raja Khmer kepalanya dipenggal dan dibalsem, hal ini untuk sock
terapi bagi para penduduk Vietnam dan Kamboja untuk tidak melakukan pemberontakan.
AKHIR DAN KESIMPULAN
Artikel ini
dengan analisa dibagian sebelumnya, akhirnya memberanikan diri, bahwa memang
telah terjadi penaklukan nusantara pada kisaran abad ke-9, yang ditandai dengan
penemuan prasasti diwilayah Filipina yang dinamakan Prasasti Laguna, yang
memberikan informasi bahwa kerajaan Tudong, mengakui akan kebesaran kerajaan
Medang.
Tercatatlah
raja
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu,
sebagai maharaja yang mampu menaklukan nusanatara, tapi ini bisa jadi
diawali
oleh raja-raja Medang sebelumnya. Yang perlu diperhatikan adalah kurun
waktu
yang sangat lama dari 860-960 Masehi, ditambah depan belakang menjadi
sekitar kurang lebih 125 tahun, dan itu adalah waktu yang cukup bagi
kerajaan Medang untuk melakukan persiapan, dan kelanjutan segala
sesuatunya dalam hal menaklukan
nusantara.
Kemunduran
lagi Kerajaan Medang ditandai dengan mulai muncul lagi raja Sriwijaya 960
Masehi, sudah disebutkan pada bahasan sebelumya siapa nama raja tersebut dan
munculnya lagi kerajaan Angkor di Khmer akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10,
dengan kehadiran raja Suryavarman I, 1002 Masehi.
Hipotesa
ini, perlu pengkajian lebih lanjut terutama informasi dari internal kerajaan
Medang sendiri. Penulis baru meninjau indikasi kerarah tersebut dari fakta sejarah
prasasti di Laguna dan catatan-catatan sejarah yang hilang pada saat bersamaan,
raja-raha Sriwijaya dan Khmer. Mudah-mudahan penulis bisa menggali informasi
lebih dalam (kalo menggali ya dalam...bukan banyak hehehe).
Semoga
pembaca yang budiman bisa memberikan masukan dari ide awal artikel ini, atau
mungkin kritik dan saran yang bisa jadi menyangkal tentang hipotesa ini.
Namanya hipotesa pasti perlu pengkajian ulang lebih banyak.
0 komentar:
Posting Komentar