Hal ini disampaikan oleh Professor Ann Marie Murphy, peneliti senior di Weatherhead East Asia Institute, Columbia University. Menurut Murphy, Indonesia akan memiliki peran penting dalam menyokong ASEAN dari belakang. “Amerika Serikat menganggap Indonesia adalah perekat yang menjaga persatuan Asia Tenggara. Sejak zaman Soeharto memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas regional dan menjaga kesatuan antar negara Asia,” kata Murphy pada Forum Terbuka USINDO, Jakarta, 24 Juni 2013. Keterlibatan AS di Asia yang mendukung negara-negara sekutunya akan membuat konflik semakin panas. Penambahan pasukan AS di Asia juga membuat ketegangan meningkat. Quote:
Saat itu, Kamboja yang menjadi ketua ASEAN menolak komunike yang mendesak China menyelesaikan konflik perairan tersebut. Seperti telah diketahui bahwa Kamboja adalah salah satu sekutu China di Asia Tenggara. Dalam buntunya situasi ini, kata Murphy, Indonesia menunjukkan peran pentingnya. Peran Indonesia terpenting adalah menjembatani antara kepentingan China dan ASEAN dalam konflik Laut China Selatan. “Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy,” jelas Murphy. Kala itu, Natalegawa secara maraton mengunjungi negara-negara ASEAN untuk menyatukan suara. “Berkat kerja keras Indonesia, ASEAN akhirnya satu suara dengan menelurkan beberapa poin kesepakatan soal Laut China Selatan. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih punya pengaruh kendati tidak menjabat ketua ASEAN,” Murphy menegaskan. Peran inilah yang diharapkan dapat dimainkan Indonesia saat AS masuk ke Asia. Murphy mengatakan, ketua-ketua ASEAN berikutnya belum bisa menyamai kepemimpinan Indonesia, terlebih di tengah adu kepentingan negara-negara besar di Asia. “Kepemimpinan ASEAN berikutnya, yaitu Brunei, Laos dan Myanmar, masih perlu bantuan Indonesia. Mereka belum bisa menyatukan negara-negara yang adu kepentingan di Asia, seperti India, China dan Jepang. Ini bukan tugas yang mudah bagi Indonesia,” tegas Murphy. Quote:
Rencana Amerika Serikat (AS) menggeser 60 persen kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2020 mendatang, membawa implikasi besar bagi kawasan ini, termasuk Indonesia. Tahun 2020 itu tidak lama. Dalam 8 tahun ke depan, Indonesia sudah terkurung oleh pangkalan-pangkalan militer AS. Apakah kita sudah sepakat sebagai bangsa untuk menyadari dan memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi? Connie Rahakundini Bakrie (ist) Menurut pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia Connie Rahakundini Bakrie, dengan kondisi seperti ini, jelas sekali, tidak tersedia waktu banyak bagi elite kita untuk segera mereposisi arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas, strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan. Connie menilai, pergeseran kekuatan militer AS ke Asia Pasifik bukanlah hal sederhana. Bisa jadi, pada 8 tahun ke depan, “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan akan beralih ke kawasan ini. Indonesia harus menyiapkan diri untuk menghadapinya. Berikut petikannya: |
| ||||
Bagaimana anda melihat dinamika perkembangan militer AS saat ini? Kebanyakan dari kita, atau bangsa AS sendiri, tidak ingin mengakui, bahwa, AS telah mendominasi dunia melalui kekuasaan militernya. Dengan alasan kerahasiaan negara, warga AS sendiri sering tidak menyadari bahwa pendudukan pasukan-pasukan AS sesungguhnya telah mengepung planet bumi ini. Kecuali kawasan Antartika. Mudah dan banyak cara dalam melacak jejaknya, seperti dengan menghitung seberapa banyak jumlah koloni milter yang ada di berbagai belahan dunia. Pada Abad-20 ini, yang dimaksud dengan koloni bisa terjelma dalam berbagai gaya, salah satunya melalui pangkalan militer yang berada di negara lain. Dengan cara ini, kita bisa ikuti koloni yang terbentuk dan menyebar ke seantero dunia dan melahirkan “kekaisaran militer” AS. Pada perspektif dinamika politik global, kita bisa menyimak bagaimana kekaisaran militer AS semakin tumbuh menuju wujudnya tahun 2020 nanti. Saat ini tengah berproses, sejak Presiden Goerge Walker Bush menetapkannya pada 14 Januari 2004 lalu. Bisa digambarkan seperti apa ‘Kekaisaran Militer AS’ itu? Salah satu cara memahaminya, dengan memahami jumlah dan ukuran dari aspirasi “kekaisaran militer” AS tersebut. Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain. Air Craft Carrier USS Nimitz Bukan hanya di darat, juga mendominasi lautan hingga samudera. Mereka membangun kekuatan Angkatan Laut yang hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan mereka pada kapal induknya, seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy, Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, dan Ronald Reagan. Selain itu, begitu banyak pangkalan rahasia dibangun dan difungsikan hanya sekedar untuk memonitor apa yang dikerjakan masyarakat dunia. Mereka mampu memonitor apa yang isi percakapan, surat menyurat baik lewat fax atau pun email antara satu sama lainnya, termasuk atas warga negara AS sendiri. Di Okinawa, pulau paling selatan Jepang yang telah menjadi koloni militer AS selama 58 tahun, terdapat 10 pangkalan korps marinir, termasuk korps marinir Futenma dan stasiun udara yang menduduki 1,186 Ha di pusat kota. Selain itu, di Inggris terdapat senilai US$5 miliar instalasi miliiter dan mata-mata AS yang disamarkan sebagai pangkalan Royal Air Force. Sebenarnya berapa jumlah pangkalan militer AS di luar negaranya? Diyakini jumlahnya telah mencapai lebih dari 1,000 pangkalan di negara berbeda. Bahkan, Pentagon sekalipun mungkin tidak tahu secara pasti jumlah setiap penghuninya. Data resmi dari Departement of Defence (DoD) pada laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di luar negeri di 130 negara. Jumlah itu, belum termasuk 6.000 pangkalan di wilayah AS sendiri. Pada pangkalannya di luar negeri, jumlah tentara AS yang tak berseragam mencapai 253,288 personel. Mereka juga mempekerjakan 44,446 orang lainnya sebagai staff tambahan lokal yang disewa. Pentagon mengklaim, pangkalannya mencakup 44,870 barracks, hangars, rumah sakit, dan bangunan lain yang dibeli atau disewa sebanyak lebih dari 4,844 bangunan. Lantas bagaimana? Gambaran itu membawa kita pada kesadaran bahwa sebenarnya hanya sedikit sekali ruang yang ditinggalkan di planet bumi ini yang tidak terisi oleh kekuatan militer AS. Dan ruang kosong itu, adalah kawasan kita, wilayah Indonesia terus menuju arah bawah melalui Samudera Hindia ke arah Antartika. Bagaimana anda melihat kaitan kondisi ini dengan reformasi TNI? Sejak reformasi 1998, pembangunan profesionalisme TNI masih menemui banyak hambatan. Tekad kuat TNI untuk menjadi militer profesional yang berfungsi sebagai alat pertahanan negara, tidak serta-merta bisa diwujudkan. Memprofesionalkan militer, bagaimana pun juga menimbulkan konsekuensi yang harus dipenuhi oleh kedua pihak, yakni sipil dan militer itu sendiri. Militer perlu dukungan sipil atas persoalan alokasi “anggaran” dalam rangka mengatasi berbagai ancaman yang timbul. Yang perlu kita ingat, kabinet pemerintahan bisa saja silih berganti, tetapi road map pertahanan jangka panjang adalah sesuatu yang harus diisi dengan komitmen tinggi seluruh elemen bangsa untuk memenuhinya. Apakah penyebab hambatan pembangunan profesionalisme TNI? Bila kita realistis dan berpikir kritis, sampai hari ini, ketidaksepakatan di kalangan pemimpin sipil mengenai beberapa konsep kebijakan pertahanan keamanan negara menjadi penyebab inkonsistensi dan terhambatnya muncul regulasi yang diperlukan. Persoalan bertambah kompleks, ketika munculnya wacana bahwa demokrasi dan militer adalah 2 hal yang tak dapat disatukan. Disadari atau tidak, jika virus berpikir bahwa demokrasi dan militer adalah 2 hal yang tak dapat disatukan, dan sengaja disebarkan secara sistematis. Akhirnya akan membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militer untuk kepentingan eksistensi negara. Seolah-olah, militer tidak dibutuhkan lagi dalam negara berdemokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah negara sangat butuh “pengawal”. Peran militer dalam menjaga demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat penting. Seolah-olah, militer tidak dibutuhkan lagi dalam negara berdemokrasi. Padahal, pembangunan demokrasi sebuah negara sangat butuh “pengawal”. Peran militer dalam menjaga demokratisasi di sebuah negara yang berdaulat, sangat penting. Pandangan anda soal pertentangan militer dan demokrasi itu? Militer dan demokrasi bukanlah sesuatu yang bertentangan. Lihat saja AS. Sebagai negara yang mengklaim paling berdemokrasi di muka bumi, faktanya memiliki militer yang paling kuat di dunia. Bukan hanya di dalam negeri, tapi tumbuh berkembang, bak kecambah di musim hujan menjadi koloni-koloni di berbagai belahan bumi. Militer hadir sebagai komponen inti untuk menjaga kedaulatan negara. Tak terbayangkan apa yang akan terjadi di masa datang jika Indonesia tidak segera memperkuat TNI untuk menghadapi “perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan. Ingat, Indonesia adalah jantung maritim Asia dan bisa menghindar dari dampak langsung dan tidak langsung serta harus dihadapi. Mengapa militer AS bisa begitu mendominasi dunia? Karena instalasi pangkalan militernya di luar negeri membawa keuntungan tak terkirakan untuk kemajuan industri usaha dan ekonomi sipil mereka. Mulai dari desain pembuatan senjata untuk angkatan bersenjata, pakaian untuk tentara berseragam dan pasukan tidak berseragam yang tercatat ada 253,288 personil berikut keluarganya yang belum termasuk didalamnya, stok makanan dan bisnis fasilitas liburan bagi tentara. war is profit WAR IS PROFIT Hampir sebagian besar sektor ekonomi AS sebenarnya mengandalkan militer untuk target penjualannya. Satu contoh kecil, misalnya terhadap pangkalan militer AS di Irak. Untuk pangkalan itu, DoD harus memesan extra ration of cruise missiles dan depleted-uranium armor-piercing tank shells. Selain itu, DoD juga mengakuisisi sebanyak 273,000 botol sunblock yang dianggap sama pentingnya seperti rudal bagi para tentaranya disana. Belum lagi DoD harus menyediakan biaya binatu, dapur, surat menyurat dan pengiriman barang, serta cleaning services yang telah dikontrak militer dari perusahaan swasta, juga menjadi bagian dari kegiatan membangun dan mengembangkan sektor ekonomi AS. Diketahui, sepertiga dari dana US$ 30 miliar tambahan yang dianggarkan untuk perang Irak, habis untuk service layananan bagi kenyamanan tentara AS. Dengan begitu, keberadaan mereka di front-front perang tampak sama seperti kehidupan di rumah ala Hollywood. Selain itu pengamanan juga dilakukan melalui sub-kontrak pada private military companies seperti Brown & Root, DynCorp, dan the Vinnell Corporation. Artinya, AS memberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi bagi prajurit militernya? The Washington Post pernah mengkritisi kondisi yang terjadi di Fallujah, bagian barat Baghdad. Bagaimana pelayan-pelayan berkemeja putih bercelana hitam dan berdasi kupu-kupu bertugas setiap malamnya melayani makan malam untuk petugas dari 82nd Airborne Division. Beberapa dari pangkalan ini, karena sangat luasnya, membutuhkan 9 trayek bus internal untuk tentara dan kontraktor sipil di dalam area berkawat tersebut. Pangkalan Anaconda, kantor pusat divisi brigade ke-3 dan infanteri ke-4 yang bertugas menjadi ‘polisi’ sepanjang 1.500 mil persegi di wilayah Irak, ke Utara Bagdad, hingga Samarra, menempati area besar seluas 25 kilometer persegi dan penyediaan perumahan untuk sebanyak 20.000 pasukan. Untuk keperluan spritual, misionaris bagi militer AS, mereka dilayani perusahaan penerbangan sendiri. Tentara AS juga dilayani perusahaan penerbangan dengan armada untuk penerbangan jarak jauh sehingga mampu menyambungkan langsung post dari Greenland hingga Australia. Bagaimana dengan kita? Wah, anda bisa bayangkan sendiri. Betapa jauhnya dengan cara kita memperlakukan personil militer. Untuk melaksanakan tugas negara pun kadang harus berutang hanya sekadar untuk membeli obat nyamuk di warung setempat. Atau harus terdampar di pulau terluar menjaga perbatasan dengan segala fasilitas yang sangat terbatas dan minim. |
#3 | ||||
| ||||
Asia Pasifik jadi target ekspansi AS selanjutnya, bagaimana anda melihatnya? Perkembangan terkini kekaisaran militer AS, bisa disimak dari pernyataan Menteri Pertahanan, Panetta yang menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020. Reposisi pangkalan tersebut ada dibawah kendali dan tanggung jawab Andy Hoehn, Wakil Menhan AS untuk bidang strategi. Hoen dan dan rekan-rekannya mengatur tahapan implementasi akan apa yang disebut Goerge Bush dulu sebagai strategi perang pencegahan terhadap “persatuan negara-negara merah dan orang-orang jahat”. Negara-negara “persatuan orang-orang jahat” ini oleh AS telah diidentifikasikan sebagai “busur ketidakstabilan” yang tersebar dari mulai daerah Andes di Colombia terus ke arah Afrika Utara dan kemudian menyapu negeri negeri seberang Timur Tengah, hingga termasuk Filipina dan Indonesia. Jadi, perang terhadap terorisme adalah sebagian kecil dari alasan untuk semua strategisasi militer AS di belahan dunia. Yang sebenarnya adalah untuk membangun cincin baru dari Pangkalan militer sepanjang khatulistiwa guna memperluas kekaisaran militer AS dalam mendominasi dunia. Kebijakan pertahanan yang seperti apa, bagi Indonesia menyikapi kondisi ini? Arah kebijakan pertahanan negara Indonesia saat ini telah berubah dari threat based planing ke capabilities based planning. Itu sudah ditetapkan. Soalnya kemudian, apakah kita sudah sepakat sebagai bangsa untuk memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi dalam waktu dekat, sebagai dampak tersebarnya 60 persen kekuatan militer AS ke kawasan ini. Persis sama seperti saat Irak akan digempur melalui persiapan Operation of Enduring Freedom, dimana saat ini Indonesia sama juga “sudah terkurung” seperti Irak, oleh pangkalan-pangkalan AS sejak titik di Diego Garcia, Christmas Island, Coco Island, Darwin, Guam, Philippina, terus berputar hingga ke Malaysia, Singapore Vietnam hingga kepulauan Andaman dan Nicobar. Dengan kondisi ini, jelas sekali, tidak tersedia waktu banyak bagi elite Indonesia untuk segera mereposisi arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas, strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan. Indonesia juga harus memperkuat TNI sebagai aktor pertahanan yang tugas utamanya adalah untuk melindungi segenap wilayah kedaulatan termasuk kekayaan dan kesejahteraan penduduknya. Apa yang paling mendesak untuk dilakukan? Persoalan yang paling mendesak dan menjadi kewajiban sipil adalah perumusan dan penyusunan landasan serta kerangka hukum yang mengatur peran dan posisi TNI dalam konteks tugasnya sebagai garda terdepan bangsa untuk menjalankan misi pertahanannya. Kondisi hari ini, TNI terbentuk menjadi tentara yang ditekankan hanya pada kemampuan stabilisasi dan rekonstruksi, tetapi tidak sebagai tentara profesional yang memiliki kemampuan outward looking defences seperti bagaimana seharusnya. Keberhasilan pembangunan landasan hukum ini, sebenarnya sangat terkait dengan visi politik dan visi transformasi militer untuk membangun kekuatan berdasarkan threat dan capabilities yang seharusnya dimiliki oleh kalangan sipil penentu kebijakan pertahanan. Konstalasi politik keamanan kawasan telah berubah signifikan dan ancaman telah muncul mengikuti trend geopolitik yang berjalan. Kebijakan luar negeri Indonesia harus di re-shaping dalam cita-cita kita membangun keseimbangan regional yang merupakan tugas terbesar kita. Semakin cepat terjawab, semakin baik. Sehingga kita tahu TNI seperti apa yang harus dipersiapkan untuk mengantisipasinya. Pendapat anda, apa yang paling penting dalam membangun profesionalitas TNI? Hal yang terpenting bukan semata persoalan mana Alutsista yang perlu diganti dan mana yang masih layak pakai. Lebih dari itu, dalam membangun TNI yang profesional dan berwibawa di mata internasional, diperlukan sebuah grand strategy and design atas postur TNI. Postur TNI yang ideal untuk menghadapi segala bentuk ancaman yang segera akan terbentang di kawasan ini dalam 8 tahun mendatang. Meski dengan kemampuan Indonesia saat ini, komposisi ideal sulit diwujudkan dalam kenyataan. Namun tanpa standar ideal, kita tidak akan pernah tahu kemana tujuan negara ini 100 atau 200 tahun yang akan datang. Bagaimana TNI yang kita cintai harus dibangun untuk itu. Bagaimanapun juga, standar ideal sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mencapai cita-cita pembangunan akan postur TNI yang kuat, berwibawa, mumpuni dan profesional dalam menghadapi ancaman-ancaman atas kedaulatan kita sebagai bangsa yang kaya dan besar. sumber indocropcircle |
0 komentar:
Posting Komentar