Halaman

Rabu, 07 Maret 2012

Cara Nabi Menghadapi Perbedaan



Saat ini kadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak punya pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang lainnya. Dari membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan. Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan kebohongan pun dilontarkan. Sungguh jauh dari ajaran Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:

لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun berasal dari  Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi perbedaan:
Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan para Sahabat sangat toleran dalam perbedaan selama belum keluar dari syariat Islam.
Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).
Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita baca, itu adalah Jalan Islam (orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan orang yang dimurkai Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani).
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.
Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Kalau sekarang kan jangankan beda madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa ulamanya berbeda pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular” segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari mereka?
Adab Berbeda Pendapat dalam Islam
Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim;
1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu
Kewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. “…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” (An-Nisaa’: 59).
3. Tidak Menjelekkan
Masing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.
4. Cara yang Baik
”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati.
Penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.
5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama
Agar dapat keluar dari khilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.
6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan
Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya
Orang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta’ala a’lam.* [Sahid, dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]
Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bidah sesudah aku (Rasulullah saw.) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bidah mereka. Dengan demikian, Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR Ath-Thahawi).
“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah saw., “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah saw., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).
Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.
Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al Hujuraat 11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti Nabi Daud dan Nabi Sulayman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa' 78-79] demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.
Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka kitalah yang sesat.

0 komentar:

Posting Komentar