Halaman

Selasa, 17 September 2013

Indonesia Harus Menggugat Kudeta AS 1965

Prakarsa Parlemen Iran Gugat Kudeta AS 1953, Inspirasi bagi Indonesia

Keputusan Iran Menggugat Amerika terkait keterlibatannya dalam penggulingan Perdana Menteri Mohammed Mossadeq 60 tahun yang lalu, Inspirasi bagi Indonesia. Untuk menggugat keterlibatan AS di balik penggulingan Bung Karno yang prolognya dimulai sejak meletusnya G-30 September 1965.
    

 

Luar biasa Iran. Pada 2 September lalu, Parlemen Iran meloloskan sebuah Rancangan Undang-Undang untuk memerintahkan Pemerintah Iran menggugat keterlibatan Amerika Serikat menggulingkan Perdana Menteri Mohammed Mossadeq pada 1953. RUU tersebut dibuat menyusul dirilisnya dokumen-dokumen rahasia CIA yang sudah dinyatakan bisa diakses oleh publik (Declassified Document) terkait rincian bagaimana CIA dan Gedung Putih telah merekayasa proses operasi pengggulingan Mossadeq.

Dalam declassified document yang dirilis CIA tersebut, bertajuk The Battle for Iran, operasi intelijen menggulingkan Mossadeq dan mengembalikan Shah Mohammad Reza Pahlevi ke tahta kerajaan, kemudian dinamakan Operasi TPAJAX. Kejadian ini memang berlangsung 60 tahun yang lalu, namun keputusan Parlemen Iran untuk menggugat pemerintah Amerika melalui payung Undang-Undang, harus diakui punya  nilai strategis dan seharusnya memberi inspirasi bagi para anggota DPR kita untuk mempertimbangkan hal yang sama.

Betapa tidak. Pada akhirnya dari 196 anggota parlemen Iran, 167 menyatakan dukungannya untuk menggolkan UU sebagai payung hukum bagi pemerintah Iran dalam menggugat keterlibatan pemerintah Amerika dalam kudeta terhadap Perdana Menteri Mossadeq, dan membawa pemerintah AS ke Mahkamah Internasional.

Karena menurut declassified document CIA yang sudah dirilis tersebut, penggulingan terhadap Mossadeq memang dilancarkan dengan arahan dari CIA dalam kerangka kebijakan luar negeri Amerika yang didukung dan disetujui oleh pejabat-pejabat tingkat tinggi  Gedung Putih di Washington.

Skenario Penggulingan Mossadeq

Mengapa Mossadeq dianggap sebagai ancaman berbahaya bagi AS dan Inggris sehingga diputuskan harus digulingkan dari tampuk kekuasaan pada 1953?  Penelusuran tim riset Global Future Institute dan buku Tangan-Tangan Amerika, karya Hendrajit DKK, secara jelas membuktikan adanya arahan dari kepentingan perusahaan minyak Inggris yang beroperasi di Iran kala itu.

Sewaktu masih menjadi anggota parlemen Iran, Mossadeq dikenal luas sebagai arsitek utama gagasan nasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company (AIOC), sebuah korporasi minyak asing yang kala itu didominasi oleh Korporasi asal Inggris. Perusahaan minya Inggris ini beroperasi di Iran sejak 1913 dan hingga saat itu merupakan satu-satunya investasi tambang minyak Inggris terbesar di luar negeri. Bisa kita bayangkan, betapa pentingnya AIOC bagi Inggris.

Pada 28 April 1951, parlemen Iran mengangkat Mossadeq sebagai perdana menteri. Dalam sejarah politik modern Iran tampilnya Mossadeq di atas pentas kekuasaan memberikan warna tersendiri. Karena dia punya agenda strategis yaitu menyusun rencana, beberapa pembaharuan dalam sistem ekonomi Iran yang antara lain dilakukan melalui sejumlah kebijakan dan program nasionalisasi perusahaan minyak asing. Yang berarti bakal menyudahi kehadiran kepentingan asing di Iran, khususnya di bidang eksploitasi minyak bumi.

Nah di sinilah AIOC merasa terancam dengan skema baru Mossadeq. Karena pada perkembangannya kemudian, tema sentral yang jadi sasaran pemerintahan Mossade adalah NASIONALISASI AIOC.
Bagi Inggris, langkah Mossadeq harus dihentikan. Sehingga agen-agen intelijen Inggris MI-6 segera diterjunkan secara aktif di Iran untuk  memulai operasi rahasia sebagai tahapan awal proses penggulingan Mossadeq. Pada tahap ini, Inggris kemudian mengajak AS untuk ikut serta dalam plot ini.

AS sendiri yang saat itu berada di bawah pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, menyatakan setuju mendukung, dengan pertimbangan bahwa negaranya tidak dapat menerima pemerintahan di kawasan timur tengah yang berniat menutup akses bagi jalur distribusi minyak internasional.
Kesepakatan strategis AS-Inggris akhirnya bermuara pada satu kesimpulan: Bahwa Mossadeq harus diturunkan dalam kerangka politik dalam negeri Iran sendiri. Hal ini mengandaikan bahwa operasi yang mereka lakukan ditujukan untuk menciptakan suasana politik yang dapat memaksa Mossadeq meletakkan jabatannya, atau setidaknya menghentikan rencana nasionalisasinya.

Namun operasi terselubung CIA dan MI-6 melalui cara ini tidak berhasil, karena gagal menurunkan popularitas Mossadeq di mata rakyat Iran. Dengan demikian, AS dan Inggris memutuskan untuk memakai cara-cara yang lebih keras dan kotor.

Maka, skenario kudeta atau menurunkan Mossadeq secara paksa, kemudian jadi opsi mereka berikutnya. Maka, merangkul “sekutu lokal” dalam plot penggulingan Mossaseq pun dilakukan. Dan itu berarti harus dari kalangan militer. Maka, Jenderal Fazlollah Zahedi dari Angkatan Darat Iran dipilih oleh AS dan Inggris untuk melaksanakan plot tersebut.

Pandangan politik Zahedi yang cenderung fasis dan anti komunis membuat ia dapat menerima kepentingan dan kehadiran Inggris dan AS di bumi Iran.

Singkat cerita, Pada 19 Agustus 1953, bersama kelompok-kelompok pro Shah Iran yang meneriakkan yel-yel anti pemerintah di sekitar kediaman Mossadeq, Jenderal Zahedi mengerahkan beberapa satuan militernya. Saat itu juga pihak militer menahan Mossadeq, dan Zahedi segera mengeluarkan pengumuman bahwa telah terjadi pergantian kekuasaan di Iran. Bersamaan dengan itu, Shah Reza yang saat itu tengah mengasingkan diri menunggu perkembangan situasi, diminta segera kembali ke Iran.

Sekembalinya Shah Pahlevi ke Iran, skenario AS dan Inggris semakin mulus, dengan diangkatnya Jendral Zahedi sebagai perdana menteri baru menggantikan Mossadeq yang sudah dikenakan status tahanan rumah.

Sejak itu, Shah Iran menerapkan sistem monarki absolute selama 26 tahun dan menguasa seluruh kendali atas kekuasaan negara, dan baru terguling dari kekuasaan pada 1979, ketika terjadi Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini.

Membaca Ulang Kesaksian Kermit Roosevelt Ihwal Kudeta 1953

Untuk menangkap detil-detil operasi intelijen CIA-MI-6 yang mungkin tanpa sengaja terungkap dari kesaksian para perancang dan pelaku operasi, penulis membaca buku karya Kermit (Kim) Roosevelt, Counter Coupthe Struggle for the Control of Iran. Kim Roosevelt, pada 1953 atas kesepakatan bersama Amerika dan Inggris, ditunjuk sebagai Field Commander/Komandan lapangan dari operasi intelijen bersandikan Operasi AJAX, untuk menggusur Mossadeq secepatnya.

Satu aspek kisah yang entah dia sadari atau tidak, dalam modus operandi gerakan mereka ini, ternyata mengandalkan agen-agen lokal di Iran yang di buku ini, Kim menyebut dua bersaudara Nossey dan Chafron. Kakak tertua seorang pengacara handal, dan adiknya seorang wartawan lokal Iran. Mulanya saya tidak terlalu anggap penting data in, namun setiap kali membaca buku ini berulang-ulang, Nossey dan Chafron ini menjadi mata-rantai yang menarik dari kisah kesaksian Kim Roosevelt.

Selain koneksinya yang luas di Iran dan punya daya tembus ke ring satu istana Shah Iran, dua bersaudara ini ternyata jadi andalan Kim beserta tim intelijen strategis gabungan AS-Inggris, untuk menggalang beragai elemen strategis di Teheran, termasuk sayap sayap militer agar mendukung skema penggulingan Mossadeq. Yang diikuti dengan aliansi baru Shah Iran dan Perdana Menteri baru Jenderal Fazlolah Zahedi.

Anehnya, baik Kim Roosevelt sebagai sutradara penggulingan Mossadeq maupun para petinggi intelijen Inggris, meski telah dilobi oleh Nossey dan Chafron, namun sama sekali gelap tentang dua orang ini. Kenyataan bahwa dua bersaudara inilah yang meyakinkan Roosevelt maupun pihak Inggris bahwa Mossadeq bisa digulingkan melalui kudeta dengan dukungan Shah Iran dan militer, membuktikan bahwa kedua bersaudara ini bekerja juga dengan kalangan-kalangan strategis di dalam dan luar negeri Iran.

Apakah ini cuma trik Roosevelt untuk menyamarkan identitas dua bersaudara ini? Atau jangan jangan Operasi Kim Roosevelt ini sejatinya memang berada dalam pantauan kekuatan-kekuatan yang lebih besar. Yang berada di luar jangkauan Kim dan kawan kawan.

Tata Kelola Migas Iran Pasca Kudeta

Setelah Iran pasca kudeta, terjadilah tata ulang dalam pengelolaan Migas di Iran. AIOC akhirnya dirubah menjadi sebuah konsorsium yang didalamnyua ada 5 perusahaan minyak asal AS yang memegang sebagian sahamnya.

Meski kesepakatan profit sharing 50%-50%, yang berarti 50 persen keuntungan yang dihasilkan oleh konsorsium itu dibayarkan ke pemerintahan Iran, tapi pembukuan dan laporan keuangan konsorsium ini tertutup rapat bagi auditor Iran. Bahkan, orang-orang Iran yang berkolaboasi dengan AS dan Inggris, tidak pernah diberi peluang untuk menduduki salah satu posisi dalam board of directors konsorsium tersebut.

Dengan demikian, sejak kejatuhan Mossadeq, AIOC praktis berada dalam genggaman perusahaan-perusahaan minyak AS, sehingga mereka lah yang mengendalikan eksploitasi minyak di Iran.

Tak heran ketika Revolusi Iran pada 1979 berhasil menumbangkan rejim Shah Reza Pahlevi, rakyat Iran beranggapan bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan Shah Reza sama sekali tidak memberi manfaat bagi masyarakat Iran. Alhasil, karakteristik dan postur politik Iran pasca Revolusi Islam 1979 amat sarat diwarnai oleh sentimen anti AS, karena dipandang sebagai negara adidaya yang berada di balik kebijakan perekonomian Shah Reza yang tidak pro rakyat.

Selama lebih dari 40 tahun pasca penggulingan Mossadeq, AS sendiri tak pernah secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam peristiwa itu. Meski beberapa bukti mengarah pada keterlibatan AS dalam penggulingan Mossadeq, termasuk dukungannya terhadap praktek-praktek tangan besi Shah Reza, para pejabat di Washington yang terkait dengan persoalan  ini sangat sulit diperoleh. Lebih daripada itu, terdapat indikasi yang cukup  bahwa dokumen-dokumen tersebut sengaja dimusnahkan untuk menghapus sidik jari AS dalam urusan Dalam Negeri Iran.

Namun pada 2000, AS mulai memperlihatkan tanda-tanda secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam operasi rahasia penggulingan Mossadeq pada 1953. Pengakuan ini disampaikan oleh Madeleine Albright yang kala itu masih Menteri Luar Negeri AS. Ia menyatakan: “Intervensi yang dilakukan oleh AS terhadap urusan internal Iran merupakan langkah mundur bagi sebuah pemerintahan demokratis di negeri itu.”Meski masih remang-remang, pengakuan yang dilontarkan oleh seorang pejabat tinggi di Washington, meski tanpa permintaan maaf dan penyesalan, merupakan sikap resmi pertama yang diperlihatkan oleh AS terkait dengan operasi terselubung negeri itu di balik penggulingan Mossadeq.

Presiden Obama, dalam kunjungannya ke Mesir malah lebih jelas lagi karena secara eksplisit menyebut Iran. “Di tengah Perang Dingin, AS telah memainkan peran penting dalam penggulingan sebuah pemerintahan demokratis di Iran.”  Jelas ini merupakan pengakuan terbuka atas apa yang telah dilakukan oleh negaranya di Iran pada 1953.

Lantas mungkinkah Indonesia menyerap inspirasi dari prakarsa yang diambil oleh parlemen Iran dengan diloloskannya UU menggugat AS ke Mahkamah Internasional? Berbagai studi dan kajian terkait meletusnya G-30 S 1965 yang mengarah pada indikasi dan bukti-bukti keterlibatan CIA dan arahan dari korporasi minyak dan tambang yang berada dalam kendali Texaco Group dalam mengondisikan gejolak politik yang mengarah pada kejatuhan Bung Karno pada 1966, kiranya penting untuk diungkap.

Seruan yang disampaikan oleh parlemen Iran sendiri cukup signifikan dengan mendesak pemerintah segera membentuk semacam komisi untuk melakukan studi dan kajian terhadap berbagai isu terkait keterlibatan AS dalam penggulingan Mossadeq, dan melaporkan hasil temuannya 6 bulan sebelum pemerintah Iran secara resmi melakukan gugatan kepada Mahkamah Internasional. Dan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah AS.

Sungguh inspiratif langkah yang dilakukan Iran tersebut, dan patut jadi bahan pertimbangan para elit strategis Indonesia dalam menata ulang arah kebijakan luar negerinya ke depan.  



 

0 komentar:

Posting Komentar