Banda Aceh - Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004. Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 07.30 WIB saat Fauziah bersama buah hatinya yang masih berusia lima bulan berada di dalam rumah. Tiba-tiba bumi bergoyang hebat dan tak lama berselang, anak keduanya yang saat itu sedang berada di pelabuhan lari pulang ke rumah.
"Mak air laut naik, air laut naik," kata anak laki-laki kedua Fauziah kala itu.
Seketika, ia mengambil anaknya yang masih kecil untuk menyelamatkan diri ke rumah tetangga yang berjarak sekitar 30 meter. Rumah itu berlantai dua milik H. Misbah. Ia bersama kelima anaknya lari sekuat tenaga menuju rumah tersebut. Di sana, sudah ada beberapa warga yang juga ingin menyelamatkan diri.
Belum sampai ia mencapai lantai dua, air laut sudah memenuhi lantai satu rumah. Ia tetap berusaha untuk naik ke lantai dua rumah dan tak lama berselang air sudah mencapai leher Fauziah. Bayi perempuan berusia lima bulan itu ia angkat setinggi mungkin sehingga tidak tenggelam dalam air.
"Kemudian anak laki-laki saya membuka atap rumah tetangga itu dengan kaki. Saya tidak tahu bagaimana ia bisa membuka atap rumah itu," jelas Fauziah saat ditemui detikcom di rumahnya Lampulo, Banda Aceh, Rabu (25/12/2013).
Saat tsunami, Fauziah tinggal di Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Sejurus kemudian, ia melihat sebuah boat nelayan (perahu) berukuran besar ikut terbawa air bersama puing-puing bangunan lainnya.
'Perahu Nabi Nuh' itu tiba-tiba berlabuh di atas rumah tempat Fauziah menyelamatkan diri. Tak menunggu lama, Fauziah langsung melompat ke dalam perahu bersama kelima anaknya dan sejumlah warga lainnya.
Bukan hanya menyelamatkan diri, Fauziah bersama warga lainnya juga ikut menyelamatkan warga lainnya yang terbawa air. "Banyak sekali warga yang hanyut kami tarik ke dalam perahu. Ada 56 orang yang selamat dalam perahu itu," kenang Fauziah.
Selama berada di dalam perahu, ia berkali-kali berusaha menenangkan buah hatinya yang masih kecil. Meski tidak rewel, ia tetap khawatir dengan kondisi anaknya. Di dalam perahu itu pula, Fauziah sempat membuat ayunan untuk sang buah hati. Fauziah bersama warga lainnya baru beranjak turun dari perahu sekitar pukul 16.00 WIB sore. Saat itu, air masih setinggi pinggang orang dewasa.
Sambil menggendong anaknya yang masih kecil, Fauziah bersama empat anaknya yang lain kemudian memutuskan untuk menuju ke pusat kota. Saat itu, di Lampulo, Banda Aceh hanya terlihat lautan luas dengan gelombang besar. Rumah-rumah warga tak banyak yang tersisa di sana. Hal itu disebabkan letak laut dengan rumah Fauziah sebelum tsunami hanya berjarak sekitar satu kilometer.
"Yang ada di pikiran saya saat air laut naik adalah sudah kiamat. Suami saya hingga saat ini belum ditemukan," kenang Fauziah.
Usai gempa berkekuatan 9,3 Skala Richter menghentakkan bumi Serambi Mekkah, sejumlah bangunan di pusat Kota Banda Aceh runtuh. Warga yang mengetahui adanya reruntuhan bangunan tersebut ramai-ramai menyaksikannya. Salah satunya adalah suami Fauziah.
"Belum lama suami saya pergi, tiba-tiba air sudah naik," kenang Fauziah.
Fauziah bercerita, 'Perahu Nabi Nuh' yang menyelamatkan mereka sebenarnya merupakan perahu rusak yang sedang diperbaiki. Perahu milik nelayan itu sebelumnya berada sekitar satu kilometer dari pelabuhan.
"Itulah kuasa Allah. Perahu sebesar ini bisa berlabuh di atas rumah," ungkapnya dengan nada terharu.
Saat perahu berlabuh di atas rumah, di dalamnya terdapat seorang nelayan yang sedang terlelap tidur. Nelayan itu tidak sadar kala perahunya berpindah dari pelabuhan ke atas rumah warga. Ketika terbangun, nelayan itu seketika panik dan hendak melompat ke bawah. Warga berusaha menenangkan sang nelayan agar tidak turun ke bawah kapal.
"Ia (nelayan) tidak sadar kapalnya terbawa karena saat tidur di laut kan biasa ada gelombang-
gelombang. Akhirnya ia turun bersama kami sekitar jam 16.00 WIB," ujar Fauziah.
Kesaksian hampir sama juga diungkapkan Mujiburrizal, salah seorang warga Lampulo lainnya. Usai gempa, ia bersama warga lainnya berdiri di depan lorong untuk mengantisipasi gempa susulan. Tiba-tiba, dari kejauhan ia melihat air hitam pekat sedang menuju ke arah daratan. Ia kemudian lari untuk menyelamatkan diri ke sebuah rumah berlantai dua milik H. Misbah. Di sana sudah ada beberapa warga yang juga ingin menyelamatkan diri.
"Keadaan saat itu sudah tidak karuan lagi, begitu panik dan menegangkan," kata Mujiburrizal.
Tak lama kemudian, Mujiburrizal keluar menuju teras lantai dua rumah tersebut. Dari sana ia melihat mobil, rumah, pepohonan dan manusia hanyut bersama air hitam pekat. Ia akhirnya memilih untuk naik ke atas atap rumah untuk menyelamatkan diri dan tiba-tiba sebuah perahu berwarna hitam datang menuju ke rumah tersebut. Ia panik karena seolah-olah perahu itu hendak menabrak rumah.
"Rupanya kapal itu menabrak bagian samping rumah, kami pikir kapal ini memang sengaja ingin menolong kami," ungkapnya.
Tak menunggu lama, ia bersama puluhan warga lainnya akhirnya naik ke dalam kapal dengan menggunakan tali dan ada juga memilih cara melompat. "Sepertinya Allah sengaja mengirimkan perahu itu untuk menolong kami. Subhanallah," kenangnya.
Kini, kisah warga yang selamat di atas 'Perahu Nabi Nuh' itu ditulis dalam sebuah buku saku berjudul Mereka Bersaksi. Di dalam buku itu terdapat 10 dari 56 kesaksian korban selamat di atas kapal tersebut. Buku itu dibagi gratis kepada warga yang berkunjung ke monumen kapal di atas rumah.
Sementara itu, salah seorang pemandu kapal di atas rumah, Salmi Hardianti, mengungkapkan, banyak turis asing dari berbagai belahan dunia berkunjung ke kapal di atas rumah untuk melihat langsung kekuasaan Allah. Mereka yang datang rata-rata penasaran dengan letak kapal tersebut.
"Mereka yang datang rata-rata penasaran kenapa kapal itu bisa di atas rumah," kata perempuan kelahiran 22 tahun silam itu.
Saban hari, puluhan pengunjung memadati objek wisata ini. Turis yang melancong ke sini rata-rata berasal dari Malaysia. Mereka datang untuk mendengarkan langsung kisah heroik saat orang-orang menyelamatkan diri ke atas kapal. Selain itu, mereka juga datang untuk memberi sumbangan kepada anak yatim piatu.
Setelah sembilan tahun tsunami menerjang Aceh yang menyebabkan ratusan ribu meninggal, kapal di atas rumah terus dilakukan renovasi untuk menarik pengunjung. Dalam sehari pengunjung yang datang mencapai 50 orang sedangkan untuk hari libur mencapai 200 orang.
Untuk pengunjung yang datang, pihak pengelola kini juga menyediakan sertifikat bukti berkunjung.
"Di sertifikat itu tertera nomor ke berapa ia berkujung ke sini. Sertifikat hanya baru ada di kapal ini. Objek wisata lain belum ada," ungkap Salmi.
Bukan itu saja, di lokasi wisata ini juga ada sebuah kios kecil yang menyediakan aneka sovenir khas Aceh. Selain mengetahui sejarah kapal di atas rumah, pengunjung yang hadir juga bisa membawa oleh-oleh khas Aceh ke kampung halamannya.
0 komentar:
Posting Komentar