Halaman

Minggu, 06 Desember 2015

Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda Tidak Pernah Bermusuhan

perang-bubat-mustafidwong.jpg



Suatu proses pencarian yang teramat sulit juga untuk mencari sumber yang mampu mengatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit adalah dua kerajaan yang bersahabat dan rukun.

Berulangkali searching dengan menggunakan keywords bermacam-macam seperti: persahabatan kerajaan Majapahit dan Sunda, Persahabatan kerajaan Sunda dan Majapahit masa Gajah Mada dan Hayam Wuruk, Persahabatan raja Majapahit Hayam Wuruk dengan raja Sunda Lingga Buana dan lain sebagainya.

Kenyataannya semua hasil mengatakan hal yang sama, dengan kata lain “tidak bersahabat”, terjadi perselisishan alias permusuhan.
Tetapi kalau dimasukan keywords seperti: Perang Bubat, Perang antara Majapahit dan Sunda, dan lain sebagainya yang mengarah ke perang Bubat, hasilnya hampir serentak semua link url atau situs web mengatakan hal sama yaitu ada perang Bubat, ada perselisihan dan permusuhan dengan berbagai versinya.

Sumber-sumber utama yaitu kitab Pararaton dan kitab Kidung Sunda yang mengarah kepada kisah Ken Arok, terjadinya peristiwa perang Bubat dan Sumpah Palapa, secara sendirinya adalah sumber-sumber yang sudah tidak bisa dipercaya lagi sebagai sumber sejarah, dengan kata lain sumber-sumber itu adalah sumber yang direkayasa demi suatu kepentingan, yang akhirnya terjadi pembelokan arah sejarah.

Lantas pola hubungan seperti apa yang diterapkan antara dua kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda, yang masa pemerintahan untuk kerajaan Majapahit dipimpin oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk versi kitab Pararaton) dengan Maha Patih Gajah Mada? Inilah pertanyaan yang harus ada jawaban sebagai korelasinya dan jawaban itu harus ada, kalau tidak pernyataan “kebohongan sejarah” itu tetap tidak kuat.

Penyidikan suatu perkara hukum, selalu dalam langkah awalnya adalah mencari barang bukti, yang kemudian dipelajari, dianalisa dan dikembangkan. Berdasarkan barang bukti itulah penyidikan lebih lanjut dapat dilakukan.

Bukti sejarah yang ada adalah untuk perkara ini tiada lain adalah berupa prasasti-prasasti dan beberapa kitab yang tingkat kepercayaannya akan kebenarannya masih tinggi, atau sumber sejarah yang masih relevan. Prasasti-prasati yang ditemukan, hampir semuanya tidak bisa memberikan informasi tentang hal itu. Bukti sejarah berikutnya adalah dicoba dengan mempelajari lagi satu kitab yaitu kitab Negara Kertagama. Kitab Negara Kertagama inilah yang menjadi harapan satu-satunya bagi penulis untuk dapat memberikan informasi walaupun tidak gamblang.

Setelah dipelajari seksama dari hasil terjemahan kitab Negara Kertagama, akhirnya didapat petikan sebagai berikut :
“Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta. Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya.Pun ikut juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus.

Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk. Negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kadandangan, Landa, Samadang dan Tirem tak terlupakan. Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Medini, Pahang yang disebut paling dahulu. Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah. Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo Sang Hyang Api, Bima. Seram, Hutan Kendali sekaligus. Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah.
Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya. Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk. Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk. Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar. Lagi pula anda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.

Berikutnya inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan Siam dengan Ayodyapura, begitu pun Darmanagari Marutma. Rajapura begitu juga Singasagari Campa, Kamboja dan Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh. Semenjak nusantara menadah perintah Sri Paduka, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti. Terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan.

Pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti. Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara.
Dilarang mengabaikan urusan negara dan mengejar untung. Seyogyanya, jika mengemban perintah ke mana juga, harus menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat. Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.”

Petikan diatas memberkan informasi lengkap tentang negara-negara yang berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit yang memang mewakili istilah nusantara yang didengung-dengukan itu, tidak seperti Sumpah Palapa yang tidak mewakili aspek keseluruhan yang dikatakan nusantara. Bisa jadi Sumpah Palapa itu sendiri adalah bentuk pengkerdilan istilah Nusantara itu sendiri, bisa jadi juga ini lemparan wacana ke publik dengan tujuan pro kontra mengenai istilah nusantara dengan hanya memakai simbolisasi Sumpah Palapa, yang akhirnya diharapkan terjadi keraguan terhadap kebesaran istilah nusantara tersebut.

Petikan diatas juga, memberikan informasi yang penuh diharapkan sebagai pernyataan yang mencurigakan, diberikan tanda cetakan tebal supaya lebih fokus yaitu:
“Yawana ialah negara sahabat. Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”

Merujuk pada keterangan kitab Negara Kertagama itu bahwa banyak negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain yang secara otomatis takluk dan berinduk ke kerajaan Majapahit, tidak harus melalui proses peperangan besar.

Dalam catatan sejarah resmi, untuk kerajaan Majapahit, hanya teridentifikasi melakukan beberapa kali peperangan, perang terbesar adalah dengan kerajaan di Pulau Bali, kemudian perang menumpas pemberontakan kerajaan Sadeng dan Keta. Tiga kerajaan ini nota bene adalah kerajaan-kerajaan yang secara historis atau sejarah pendiriannya mulai kerajaan Tumapel masa pemerintahan Sri Rajasa Sang Amurwabhumi alias Ken Arok (versi kitab Pararaton sampai ke Sri Kertanegara, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya sampai Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk (versi kitab Pararaton) adalah masih termasuk kerajaan-kerajaan bawahan.
Wajar dan memang seharusnya kalau peperangan itu dilakukan, untuk menjaga keutuhan, kewibawaan, persatuan dan kesatuan serta nama baik kerajaan, setidaknya ada alasan perang yang mendasar dan sah secara hukum kenegaraan.

Tetapi negara-negara lain, bisa secepat itu takluk, menginduk dan mengakui kerajaan Majapahit yang memegang kontrol atas mereka. Hal ini dikarenakan, apa yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit adalah sebagai pencetus atau pelopor ide penggabungan kekuatan, dengan membentuk aliasi dengan negara-negra lainya, tujuannya dalam rangka menjaga apabila suatu saat ada invasi dari kekaisaran Mongol untuk kedua kalinya.

Percobaan invasi pertama, ketika kerajaan Singhasari atau Tumapel dibawah kendali Jayakatwang yang merebut kekuasaan secara paksa dari penguasa sah Sri Kertanegara. Tentara Mongol sempat menguasai ibu kota kerajaan, tapi tidak lama berselang bisa diusir kembali oleh pasukan tentara yang dipimpin Raden Wijaya, raja pertama Majapahit menantu dari Sri Kertanegara.

Mengapa pula dengan skala waktu yang tidak terlalu lama nusantara bisa terbentuk? Jawabanya adalah teori musuh bersama. Umpan nilai psikologis inilah yang merupakan senjata ampuh dalam propaganda ide aliansi yang dimotori oleh kerajaan Majapahit, jadi tidak lagi harus bersusah-susah melakukan perang. Ketika negara-negara dalam aliansi itu sudah terbentuk, katakanlah dengan beberapa negara besar yang sudah bergabung, untuk mengembangkannya lebih mudah ke arah pemekaran yang lebih luas.

Ide aliansi inilah yang merupakan cikal bakal terbentuknya nusantara, dan ini ide sangatlah brilian, terlebih didukung oleh situasi yang ada, yaitu ada musuh bersama yang nyata didepan mata. Musuh bersama itu tiada lain adalah pasukan besar kekaisaran Mongol.

Secara fakta pertahan, sebuah aliansi harus ada negara pengontrol, pemimpin bagi yang lainya dan kerajaan Majapahit-lah yang cocok dan memenuhi syarat. Majapahit adalah negara adidaya di nusantara selain Kerajaan Sunda pada masa itu. Karena Kerajaan Sriwijaya tidak lagi termasuk negara adidaya dengan alasan keberadaannya sudah melemah, yang sebelumnya mengalami masa-masa penjajahan dari kerajaan Chola, India.
Penyidikan dilanjutkan lagi. Sekarang pertanyaan yang timbul adalah Yawana itu kerajaan mana? Tidak dijelaskan identitasnya dalam kitab Negara Kertagama, artinya nama itu sudah populer tidak perlu lagi penjelasan pada waktu itu, tetapi bukan negara bawahan karena tidak disebut demikian, yang ada adalah negara sahabat. Negara sahabat artinya kerajaan itu dianggap sejajar kedudukanya dengan kerajaan Majapahit, dan mempunyai kedudukan yang sangat dihormati karena statusnya adalah negara sahabat. Hubungan yang terjalin pun atas dasar persahabatan, bukan permusuhan atau yang satu menjadi bawahan atas yang lainnya.

Pembuktian Kebohongan Sejarah ttg Persetruan Kerajaan Majapahit Vs Sunda

Analisa Data 
Nama Yawana yang ada, dinyatakan bahwa salah satu negara yang statusnya bersahabat dengan kerajaan Majapahit. Kalau Yawana itu ditujukan untuk nama kerajaan di India barat, tidaklah berdasar karena istilah nusantara tidak menjangkau ke wilayah tersebut.
Istilah nusantara sendiri sering diartikan sebagai gabungan antara negera-negara taklukan atau kerajaan bawahan dengan negara-negara "asing" yang statusnya sebagai negara sahabat kerajaan Majapahit. Sekali lagi istilah negara asing atau negara sahabat bukan didasarkan oleh letak jauh tapi atas dasar setatusnya yang bukan negara taklukan atau bawahan kerajaan Majapahit.
Yawana dalam hal ini adalah diduga sebuah nama negara sebutan yang terdiri dari beberapa kerajaan yang masih dalam kawasan yang dekat, tentunya dengan kerajaan Majapahit, dilihat dari nafas kalimat petikan tersebut, dikuatkan tidak adanya nama-nama kerajaan dipulau Jawa yang disebut satu pun, di petikan pupuh kitab Negara Kertagama sebelumnya.
“.......Yawana ialah negara sahabat. 

Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”,
Pernyataan yang diimbangi secara adil dan rata, adanya hubungan bolak balik antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya, dan dengan ada pernyataan lanjutan tentang keberadaan serta status pulau Madura, juga seirama dengan pertanyaan umum mengenai keberadaan nama kerajaan-kerajaan di tatar Sunda yang tidak ada di daftar negara-negara yang berada dibawah kekuasaan Majapahit menurut keterangan dari isi kitab Negara Kertagama.
Si pembuat atau pengarang kitab Negara Kertagama adalah sudah barang tentu seorang satrawan mumpuni yang luas wawasannya, menjangkau pengetahuan sejarah masa lampau menurut ukurannya, dan untuk menyebutkan nama kerajaan-kerajaan ditatar Sunda atau kerajaan-kerajaan Jawa secara keseluruhan, dan dengan ada hubungan emosional kedekatan serta persaudaraan dari rangkaian sejarah sjauh sebelumnya, tentunya panggilan atau sebutan bagi kerajaan-kerajaan ditatar Sunda dan Jawa haruslah memakai istilah tersirat.

Hal yang sama kalau dimisalkan penyebutan nama keluarga, atau teman atau orang yang sudah mempunyai hubungan kedekatan dengan meminjam biasanya meminjam nama anaknya seperti : bapak si Pulan, Ibu si Siti, atau sebutan seorang anak kepada babaknya ketika dia juga sudah punya anak "kakek si Badu, Nenenk si Intan" dan lain sebagainya, istilah lain untuk menghindari pernyataan nama langsung sebagai tanda penghormatan.
Bukti sastrawan ini mempunyai pengetahuan dimasa lampau dengan adanya petikan kitab Negara Kertagama ".......Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh." , kalau saja pengarang buku atlanstis tahu kalimat itu dari kitab Negara Kertagama, bisa jadi kitab ini dijadikan rujukan, soalnya ada penanggalan waktu disitu "tahun Saka lautan menantang bumi" yang secara harfiah bisa diartikan ketika permukaan air laut naik mengenangi daratan. Ini sangat sejalan dengan penelitian, analisa dan teori-teori buku Atlantis karya Prof. Santos (nama panggilan pengarang buku Atlantis). Mohon maaf penulis belum bisa mengartikan arti "lautan menantang bumi" sebagai angka tahun kisaran untuk sekala perhitungan saka.

Hal ini juga sama dengan sebutan untuk nama Yawana, dipakai untuk menerangkan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, tapi meminjam istilah asal usul orang masyarakat Sunda dan Jawa secara keseluruhan karena merasa ada kesamaan jalur keturunan, terdapat rasa persaudaraan yang kental. Karena secara sejarah, masyarakat Sunda lebih awal mulai terdeteksi sebagai asal usul keturunan pertama, dilhat dari historis kerajaan-kerjaan di tatar Sunda dan Jawa bagian timur tentunya.

Nama Yawana, menurut penulis arahnya ini merujuk untuk sebuah nama lain, diduga yaitu kerajaan-kerajaan Sunda. Sumber terakhir yang menerangkan secara linguistik bahwa Java atau Jawa dan erat kaitannya dengan bahasa Javana atau Yavana atau Yawana yang berasal dari negeri India, lebih jauh dalam buku Atlantis ini istilah Yawana yang dimaksud adalah langsung menunjuk pulau Jawa (Pulau putih tempat asalnya bangsa atau ras berkulit putih), dan bukan dimaksudkan untuk nama asli sebutan kumpulan suku gabungan Yunani-India.

Dengan demikian, Yawana dalam kitab Negara Kertagama sebenarnya menunjukan untuk negara-negara atau kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa secara keseluruhan bukan hanya kerajaan-kerajaan Sunda, artinya semua kerajaan yang termasuk dalam kelompok dan berada di Pulau Jawa itu adalah kerajaan sahabat, terkecuali memang daerah bawahan yang dari semula yang sudah menjadi negara bagian dari Kerajaan Majapahit.
Dilihat dari maksudnya, Yawana lebih kearah kerajaan-kerajaan ditatar Sunda, dilihat dari pengecualian tentang kerajaan-kerajaan dipulau Jawa yang sudah termasuk secara fakta teritorial ke wilayah kerajaan Majapahit. Dengan demikian Yawana sudah barang tentu secara cakupan dan khusus untuk kasus ini, dapat diambil kesimpulan atas dasar analisa-analisa diatas bahwa Yawana merujuk terhadap kerajaan-kerajaan di tatar  Sunda, dan yang mewakili kerjaaan gabungan di tatar Sunda pada waktu itu adalah kerajaan Sunda Galuh.

Kecuali ada bukti lain yang menerangkan identitas tentang kerajaan Yawana yang sebenarnya. Maka dengan demikian pernyataan tentang negara Yawana yang disebutkan dalam kitab Negara Kertagama adalah nama untuk sebutan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, alasan-alasan sudah dijelaskan diatas, bisa jadi mendekati atau mirip arah arahnya untuk kerajaan Sunda Galuh yang dimaksud itu, kerajaan yang merupakan gabungan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, setelah melihat dari beberapa sumber yang korelasinya sama.

Akhir dan Kesimpulan
Bahwa telah terjadi persetruan antara kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit adalah diduga merupakan sejarah yang tidak benar, tentu dengan sendirinya bahwa perkara yang dijadikan pembuktian penyidikan tentang peristiwa perang Bubat sebagai dasar pola hubungan antara 2 kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Sunda dan kerajaan Majapahit adalah bahwa telah terjadi persetruan itu, secara otomastis tidak benar, bahkan mereka mempunyai hubungan persahabatan, lebih jauhnya lagi bisa jadi saling kerja sama antar negara. 

Perang Bubat sering dijadikan alat propaganda perseteruan dan dengan kenyataannya yang bedasarkan bukti-bukti atas sumber-sumber yang didapat, itu tidak mungkin terjadi, karena dugaan akhir menyangkut pola hubungan antar kedua negara tersebut adalah sebagai 2 kerajaan yang bersahabat, sejajar, bisa jadi dikatakan saling kerjasama. Dengan sendirinya bahwa peristiwa Perang Bubat itu tidak berdasar sama sekali, peristiwa yang tidak pernah terjadi, dan itu batal demi hukum.

Kecuali ada bukti-bukti sejarah yang bisa mengungkapkan fakta dan mengatakan sebaliknya, maka kesimpulan ini akan dikaji ulang lagi.

Perang Bubat dengan kisahnya yang menyayat hati itu adalah buatan dari pihak yang punya kepentingan atas ketidakbersatuan komponen-komponen utama pembentuk pondasi persatuan nusantara. 

Pihak itu, penjajah Belanda, kalau bisa dan boleh penulis mencaci maki, maka akan dicaci sampai 1000 kali cacian dengan nada serupa, saking keselnya karena sejarah nusantara tercinta diacak-acak, dicabik-cabik sedemikian rupa, dan dibikin sembrawut  tak tentu arah (sangenah na wae, sa penae udele dewe), itu pendapat penulis.

Adakah alasan lain yang tetap (keukeuh peuteukeuh, ceuk urang Sunda mah) berasumsi dan mempertahankan bahwa persetruan kesukuan antara suku Sunda dan suku Jawa adalah kisah persetruan abadi, yang kalau bisa sampai akhir jaman? 
Masih tetapkah berpaling dan membutakan diri dari kenyataan yang sudah nampak jelas didepan mata? Masih relakah menjadi budak-budak kebohongan sejarah? Silakan pilihan itu ada di pembaca yang budiman.

1 komentar: