Maka,
kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai
konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk
membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan
semua warga sipil Papua adalah OPM.
Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush ini harus
dicermati secara seksama. Dengan jargon demokrasi dan penegakan HAM
sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi
duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.
Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang
dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen
Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon,
internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda
mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia
jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa
ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti
rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand
Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi
Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Apa yang diinginkan oleh Pentagon dari skenario Rand Corporation Clinton..? itu
Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk
diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary
Clinton.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah
dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999
masa pemerinthana Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan
berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan
(telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini.
Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya
tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan
Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak
dengan menggunakan aksi militer.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen
yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara
tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh
atau Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari
gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi
pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith,
Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan
Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan
Anthoni Zinni.
Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya
adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu
terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika
itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario
internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang
berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.
Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa
dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa
mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan
pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini.
Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan
monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama
meski dengan metode yang berbeda.
Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara
di kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman
belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan
berpotensi menjadi negara musuh Amerika.
Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang
berhaluan sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh
Presiden Rafael Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya
revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Brazil sejak masa kepresidenan Luis Inacio Lula memprioritaskan
pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya
pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta
pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan warga
Indian, dan sebagainya.
Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah
Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di
atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan
perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika
dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.
Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan
Amerika, meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara
kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif
baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.
Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin
tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.
Skenario Kosovo untuk Papua Merdeka
Ini
bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di lingkungan Departemen
Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota
kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka
(OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap.
Menarik juga informasi ini jika benar. Karena dengan tampilnya Presiden
Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar
negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang
sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran
jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan
Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin.
Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen
Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.
Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA) Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka
Kalau RUU FRAA ini lolos di kongres Amerika, maka Amerika akan
menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan
diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk
melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi
Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga Papua untuk
menentukan nasibnya sendiri.
Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga
lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik
dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan
intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk
menggolkan kemerdekaan Papua.
Karena itu, kita harus mewaspadai beberapa kasus kerusuhan yang meletus
di Papua, bahkan ketika pemilihan presiden 8 Juli 2009 lalu sedang
berlangsung.
Mari kita kilas balik barang sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi
paling dramatis, ketika beberapa elemen OPM menguasai lapangan terbang
perintis Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh disertir tentara, Decky
Embiri. Meski demikian, berkat kesigapan aparat TNI, pada 20 Juni 2009
berhasil dipukul mundur.
Namun provokasi OPM nampaknya tidak sampai di situ saja. 24 Juni 2009,
OPM menyerang konvoi kendaraan polisi menuju Pos Polisi Tingginambut.
Konvoi diserang di kampung Kanoba, Puncak Senyum, Distrik Tingginambut,
Kabupaten Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini hanya 50 meter dari pos
milik TNI.
Dalam kejadian di Tingginambut ini, seorang anggota Brimob Polda Papua
tewas tertembak. Singkat cerita, inilah sekelumit kisah bagaimana
sepanjang tahun 2009 ini OPM telah melakukan penyerangan di kawasan
Tingginambut hingga tujuh kali serangan.
Jika kita cermati melalui manuver politik politisi Demokrat menggolkan
RUU FRAA di Washington dengan kejadian kerusuhan berantai di Papua, bisa
dipastikan kedua kejadian tersebut berkaitan satu sama lain.
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh
OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk
menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara
TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat
hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung
gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung
terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya
hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua
dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009
ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap
serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan,
sebagai tindakan melanggar HAM.
Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita
seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan dimainkan Amerika
ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai Demokrat, tampil
terpilih sebagai Presiden Amerika.
Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung
kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan
memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di
Papua.
Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab
dalam salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika
melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran-pelanggaran HAM
di Papua.
Bisa jadi inilah salah satu kesepakatan diam-diam antara Obama dan
LSM-LSM pro OPM ketika pri alumni Fakultas Hukum Universitas Harvard ini
masih menjadi calon presiden. Jika memang benar, Obama berada dalam
tekanan kuat untuk mendukung agenda ini lolos di kongres.
Pelanggaran HAM memang harus diakui menjadi isu sentral yang diangkat beberapa LSM pro OPM. Misalnya saja West Papua People’s Representative and OPM.
Kelompok ini selain mengembangkan website wpik.org, menurut berbagai
sumber juga mendapat dana dari sejumlah perusahaan asing.
Meski OPM belum sekuat GAM Aceh dalam menancapkan pengaruh-pengaruhnya
di kalangan elit dan kelompok-kelompok basis di Papua, namun lobi-lobi
OPM dengan dukungan beberapa LSM asing memang tidak sekali-kali untuk
diremehkan.
20 Juli 2005 lalu misalnya, berhasil meloloskan sebuah draft RUU yang
salah satu klausulnya, mempertanyakan kembali keabsahan Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) dalam mendukung kemerdekaan Papua. Sekaligus
juga mengkritik pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
RUU yang kelak dikenal dengan HR (House of Representatives) 2601
itu, akhirnya sempat beredar dua versi informasi. Yang pertama
mengatakan telah dicabut karena mengagendakan Papua sekarang ini sudah
tidak relevan lagi sehingga tidak akan menjadi hukum. Adapun versi kedua
justru masih beranggapan RUU yang membahas penelitian ulang atas proses
masuknya Papua ke Indonesia sampai sekarang belum dibatalkan.
Sebaiknya kita di Indonesia lebih mempercayai versi kedua ini.
Mengingat versi ini justru disampaikan oleh Ketua Sub-komisi
Asia-Pasifik dalam komisi Hubungan Luar Negeri Kongres Amerika.
Dan yang harus lebih diwaspadai lagi, HR2601 tersebut lingkupnya juga
bisa mencakup semua kasus dan isu serupa yang terjadi di dunia. Meskipun
bisa-bisa saja yang menyatakan secara eksplisit kasus Papua Barat sudah
dihapuskan. Namun secara substansial, kasus Papua tetap saja dalam
pantauan dan penelitian para anggota kongres Partai Demokrat.
Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka
Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua
Black Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni
VOC bukan koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai
Demokrat dari American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black
Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.
Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Pada 2002,
tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa mengeluarkan
menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa
Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan
pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.
Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang
anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni
tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert
Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang temannya dari
Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri John Howard,
agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari suaka di
di Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran
HAM TNI.
Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer
mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard
ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul
gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah
Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.
Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi
berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke
Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang
memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan
suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan
operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen
asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen
Indonesia.
Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa
sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya
spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu usaha
kemerdekaan Papua.
Menurut penulis,
pernyataan Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus
terhadap gerakan asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan
sekadar adanya elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan
Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan target utama
adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.
Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya
juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan
apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di
House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora
internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu
negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab
IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua,
penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua
di bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka.
Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan
PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus
mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.
Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi
yang kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati
skenario Kosovo merdeka.
Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan
didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua
Barat dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu,
Indonesia dan Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM
terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu
mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan
resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .
Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam
geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing
globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang
Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi
mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk
strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik,
khususnya Asia Tenggara.
Balkanisasi Nusantara
1.Indonesia ada rencana hendak dibelah dengan memakai model Polinesia
(negara pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai beredar pengguliran Isu
Negara Timor Raya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer
terdengar.
2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar pada
klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
A. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
B. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
C. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.
MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan terkini berdasarkan prakarsa dua anggota
Kongres AS untuk menggolkan seruan resolusi agar Baluchistan diberi hak
sejarah menentukan nasib sendiri dan negara sendiri, lepas dari
Pakistan, maka Global Future Institute merasa perlu mengingatkan
kemungkinan langkah langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika Serikat
dan Sekutu-sekutu Eropanya:
1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin
merdeka dan lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua
anggota Kongres AS menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden
bagi langkah serupa terhadap Papua.
2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi
yang diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian
dijadikan pola dan modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas
dari negara induk.
Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang otoritas pemerintahan.
Penulis : Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
|